Fase
Perkembangan Civil Society dan Civil Society Organizations/CSOs
Berbicara
tentang gerakan civil society di Indonesia, di tengah pengaruh globalisasi dan
liberalisasi saat ini yang begitu memuja dan menjadikan modernisasi, demokrasi
sebagai mesiah dari beragam persoalan yang melilit underdeveloped country dan developing
country, tidak terlepas dari transformasi modernitas yang berlangsung di
era kolonialisme. Pada dasarnya kolonialisme dengan struktur kekuasaannya menindas dan
merampas kebebasan dan resource bangsa
ini, merupakan rahim bagi lahirnya gerkan-gerakan civil society yang berupaya melakukan perlawanan kritis melalui proses
pemberdayaan masyarakat maupun penolakan-penolakan kebijakan politik
pemerintahan kolonial.
Pada
dasarwarsa 70-an, merupakan titik awal tumbuhnya civil society organizations/CSOs di Indonesia era pasca
kemerdekaan. Orientasi gerakan awal CSOs terfokus pada integrasi masyarakat
dalam pembangunan negara. Penekanan pada
mempromosikan modernisasi sosial-ekonomi diantara kelompok-kelompok marginal.
Kemudian pada dekade 80-an, terjadi anti thesis dari pergerakan CSOs dimana
pada mula mempropmosikan modernitas sebagai sebuah solusi namun pada fase ini
CSOs memposisikan sebagai pihak yang mengkritik modernitas. Orientasi gerakan
CSOs Indonesia semakin bervariasi, namun yang terdapat kesamaan yakni
gerakannya (CSOs) adalah untuk mengkritik konsep modernisasi yang dijadikan sebagai
landasan pembangunan.
Anti
klimaks dari gerakan CSOs di Indonesia terjadi pada era 90-an,aktifitas CSOs
bukan hanya sebagai pihak oposan yang mengkritik namun juga memposisikan atau
berperan sebagai“lawan”bagi rezim yang berkuasa dan sebagai corong bagi
kelompok-kelompok marjinal yang teralienasi oleh kebijakan pembangunan
pemerintah.
Kristalisasi dan konsolidasi dari berbagai
aktifitas CSOs terjadi saat menjelang berakhirnya kekuasaan rezim orde baru,
saat itu CSOs menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap kekuasaan
negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan di berbagai bidang.
Dengan spektrum perlawanan yakni memberantas KKN. Aktifitas CSOs telah
memberikan kontribusi substansial untuk: Meningkatkan partisipasi dan
transparansi di Indonesia; membangun infrastruktur hukum dan kelembagaan
demokrasi; dan memberikan suara dan advokasi untuk mendukung reformasi.
Setelah
memasuki era reformasi, angin segar menaungi pergerakan CSOs di Indonesia. CSOs
lebih berperan sebagai penyeimbang negara ketika terdapat proses-proses yang
sehat, keterbukaan dan partisipatif yang terjadi di era reformasi. Sesuai
dengan pendapat Eisenstadt (dalam Gaffar, 1999: 180) yang menyatakan bahwa
setidaknya terdapat 4 syarat yang akan mendorong CSOs tumbuh sebagai gerakan
penyeimbang negara: pertama otonomi
yang bermakna, civil society independen dari pengaruh negara. Kedua, Aksesibiltas masyarakat terhadap
lembaga negara. Dalam konteks relasi negara-warga negara secara inividu maupun
kelompok, dalam hal akses terhadap agencies
of the state. Ini dimaknai sebagai kebebasan individu dalam melakukan
partisipasi politik dengan berbagai bentuknya, apakah dengan menghubungi
pejabat (contacting), menulis pikiran
di media massa, atau dengan terlibat langsung atau tidak langsung organisasi
politik. Ketiga, Arena publik yang
otonom, dimana berbagai macam organisasi sosial dan politik mengatur diri mereka
sendiri. Keempat, Arena publik yang
terbuka bagi semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan rahasia,
eksklusif dan setting yang bersifat
korporatif.
Selama
sepuluh tahun terakhir (2004-2014) jumlah CSOs di seluruh Indonesia telah
tumbuh secara dramatis. Demokratisasi telah menciptakan ruang bagi aktivis
masyarakat sipil Indonesia untuk berpartisipasi dalam membangun hak dan
mekanisme akuntabilitas dalam masyarakat di mana keterlibatan warga sebelumnya berkecil
hati. Otonomi daerah dan desentralisasi telah menciptakan peluang baru bagi
warga diselenggarakan untuk terlibat dalam urusan publik.
- Setting politik, ekonomi, sosial dan budaya pada aras internasional;
- Relasi kuasa dan komposisi aktor-aktor pada aras nasional dan regional,yakni pemerintah, swasta, partai politik dan gerakan gerakan pro-demokrasi;
- Orientasi organisasi, terutama visi dan missi, dan
- Public Policy dibidang pembangunan, terkait dengan aksesibilitas dan kontrol publik terutama masyarakat miskin.
Peran Civil Society
Organizations/CSOs dalam Pembangungan.
Salah satu aspek penting dari peran CSO bagi
pembangunan adalah peran kritis yang dimainkan sebagai gerakan penyeimbang
negara dalam menjalankan program pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Kehadiran CSO sebagai representasi masyarakat sipil merupakan faktor penting
sebagai bagian dari upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, sebuah
paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.
Tolok ukur dan arah keberhasilan pembangunan
berkelanjutan (sustainability development) sangat ditentukan seberapa besar
irisan sinergis yang dilakukan oleh tiga pelaku pembangunan, yaitu pemerintah,
swasta (bisnis) dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil merupakan salah satu
pilar penting dalam pembangunan dalam konteks demokrasi dan tata kelola
pemerintahaan yang baik.
Peran yang dimainkan masyarakat sipil dalam
pembangunan lebih banyak dimotori oleh civil society organization/CSO atau
organisasi masyarakat sipil. Saat kesadaran akan pentingnya peran masyarakat
sipil menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakan lagi, ternyata keberadaan
CSO masih diselimuti berbagai persoalan
mendasar, di antaranya kesenjangan pendanaan kerja jangka panjang, masih
lemahnya kapasitas dan struktur kelembagaan, serta ekslusivitas kerja CSO yang
minim inisiatif untuk bersinergi dengan pelaku pembangunan lain, potensi
konflik yang begitu tinggi antara CSO karena eksistensi CSO terkonfigurasi
kedalam beberapa ideologi yang dianut. Masalah ideologis menjadi sulit
dipecahkan karena menyangkut keyakinan atas satu nilai dan paham tertentu.
Mengingat spektrum aliran CSO sangat luas, sehingga akan membutuhkan upaya
ekstra untuk menemukan irisan sinergi untuk sesama CSO dan CSO dengan pelaku
pembangunan lainnya yang tidak mengalami problem ideologis dalam mengembangkan
kolaborasi dan kemitraan.
Mengacu pada Jakarta Commitment yang secara konseptual sebagai bentuk keseriusan
tekad dalam memposisikan Pemerintah Indonesia sebagai leader dalam aid management
dan aid coordination, dan juga
sebagai bentuk komitmen untuk membangun kemitraan dalam pembangunan yang
inklusif dan effektif dengan memperluas keterlibatan aktor baru antara lain sektor swasta dan masyarakat
sipil salah satunya adalah civil society
organization (CSO), untuk mendukung upaya-upaya pembangunan.
Senada dengan itu, Paris Declaration merupakan kesepakatan antar pemerintah dengan
fokus pada relasi antara pemerintah dan pemberi pinjaman/hibah dalam
upaya-upaya peningkatan keefektifan bantuan dengan melibatkan CSO sebagai salah
satu chanel penerima official development
assistance (ODA). Meskipun demikian, prinsip alignment dalam Paris
Declaration tidak hanya berkaitan dengan relasi antara pemerintah dan
lembaga/Negara pemberi pinjaman/hibah melainkan juga melibatkan CSO, seperti
yang tertuang dalam Rekomendasi 4b yang ditetapkan Advisory Group on Civil Society and Aid Effectiveness (2008), yang
menyatakan bahwa:
“Deepen
understanding and application of the Paris Declaration Principles in ways that
emphasise local and democratic ownership, social diversity, gender equality,
and accountability for achieving result of benefit to poor and marginalised
populations as essential conditions of effectiveness”.
Selanjutnya untuk mengindentifikasi peran CSO
sebagai aktor pembangunan adalah dengan melihat keterlibatan CSO sesuai dengan
kapasitas dan peran yang merupakan bagian dari arsitektur bantuan internasional
yakni sebagai salah channel dan penerima official
development assistance (ODA), sebagai donor maupun sebagai watchdog
terhadap pelaksanaan kebijakan publik.
Grafik Perkembangan
Penyaluran ODA ke Sektor Government dan Civil Society
Sumber:http://stats.oecd.org
CSOs secara inheren mengisi berbagai peran
dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Peran yang dimainkan oleh CSOs dikelompokkan
menjadi 4 kategori besar:
1)
Civic engagement;
2)
Social mobilisation and advocacy;
3)
Humanitarian assistance; dan
4)
CSOs as donors, channels and recipients of
aid.
Tiga kategori pertama menekankan peran CSOs sebagai
aktor pembangunan dan kategori keempat menekankan peran dan hubungan CSOs dengan
lembaga donor internasional.
Permasalahan
Mendasar Civil Society Organizations/CSOs di Indonesia
Fakta menarik saat ini dari diskursus
tentang CSOs di Indonesia adalah tentang kemandirian dari sisi pembiayaan, dimana
ada tuduhan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa aktifitas CSOs yang
didanai oleh pihak asing merupakan antek-antek asing yang bersuara atas nama
kepentingan asing (donor) apakah itu koorporasi maupun negara. Richard Holloway dalam bukunya Menuju
Kemandirian Keuangan (Yayasan Obor Indonesia, 2001), sudah mewanti-wanti LSM
Indonesia untuk bersiap mandiri dan tidak bergantung terus pada dana asing.
Diantaranya, dana asing membuat posisi CSOs lemah secara politis. Terutama,
ketika harus menepis tuduhan bahwa kegiatan mereka atas bayaran dan sesuai
instruksi kekuatan asing yang mungkin saja dapat merugikan negara Indonesia. Sinyalemen
itu sudah menjadi rahasia umum. Bahkan Kompas pernah melakukan liputan mengenai
akuntabilitas LSM atau NGO, pada edisi 16, 18, dan 19 April 2007.
Pada level substansi diskursus tentang
CSOs adalah pendefinisian siapa yang merupakan bagian dari masyarakat sipil.
Pada wilayah ini seringkali terjadi dikotomi antara kelompok-kelompok sosial
dalam masyarakat dan kelompok masyarakat politik. Fenomena yang menarik yang
diungkap dalam laporan Lokakarya Pengukuran Indeks Kesehatan Masyarakat Sipil
yang dilakukan oleh Yappika di 6 region, dengan menyatakan bahwa masyarakat
sipil sendiri mempunyai konsepsi sendiri dalam memaknai civil society maupun
civil society organizations yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik di
daerah masing-masing (Novri Susan. 2007).
Adakalahnya organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah
kalangan Non Government Organizations/Lembaga
Swadaya Masyarakat-LSM serta lembaga kemasyarakatan berbasis komunitas
ataupun profesi tentunya didalamnya ada
kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media.
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan trust fund/hibah,problem yang muncul
adalah terkait dengan isu keefektifan tidak sebatas pada pinjaman/hibah semata
namun juga pada aktor-aktor yang terlibat di dalamnya yang harus memiliki
standar keefektifan yang memadai. Untuk itu dibutuhkan standar rujukan sebagai
pedoman etis-normatif sebagai kerangka kerja yang mengartikulasikan seluruh
potensi yang dimiliki oleh CSOs.