Mengakui sesuatu yang tidak diketahui lebih terhormat kemudian belajar
daripada mengatakan dan menjalankan sesuatu yang tidak diketahui adalah hina.
(Dihya Al-Qalby S. 2010)
Setelah dilantik publik Maluku
Utara disuguhi hiburan pementasan teater di Gosale Puncak yang menjemukan
sekaligus memuakkan. Bagaimana tidak “menjemukan” dan “memuakkan”. Kebijakan
yang diterbitkan selalu menimbulkan permasalahan secara administratif maupun
politis dan tidak berdampak signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat
Maluku Utara. Bahkan dalam kabinet AGK Mantab sendiri ada resistensi dari
kebijakan tersebut. Mengutip istilah sastrawan besar Pramoedya Ananta
Toer, perombakan kabinet setelah
pelantikan, Penunjukan Sekwan Propinsi dan pengusulan PLT Bupati Taliabu ibarat
“badai dalam secangkir kopi.” Jika
dirunut kisruh baik secara administratif maupun politis tidak akan cukup ruang
untuk mengurai satu persatu benang kusut ini. Kenyataan seperti ini buat saya semakin ragu governability dari sang gubernur dalam
memimpin daerah ini sampai berakhir periode kepemimpinannya.
Tentunya ada yang
berpendapat bahwa argumentasi saya masih prematur terkait keraguan governability sang gubernur, sehingga
perlu di kaji lebih mendalam lagi. Namun dari berita tentang sengkarut
kebijakan sang gubernur yang menghiasi media masa lokal bisa dijadikan
parameter sementara untuk mengatakan bahwa gubernur saat ini tidak memilki governability. Alhasil roda pemerintahan yang dijalankan dan
dikontrol dari Goale puncak seperti pentas teater, dimana ada riak-riak yang
mewaranai setiap sekuen, euforia kemenangan ditandai dengan bagi-bagi jabatan
didalam tubuh birokrasi maupun BUMD bagi “martir” dalam perhelatan pilgub. Artinya
politik
post-election bukan saja power sharing,
melainkan juga resource sharing. Dan yang pihak yang kalah
siap di”matikan” kariernya, seperti kata William Riker (1982: 9) “the function of voting is to control officials, and no more”.
Sekuen pertama
Promosi dan roling jabatan
dalam birokrasi maupun badan usaha milik daerah (BUMD) tidak bisa hanya diletakkan melalui justifikasi
konstitusional belaka: bahwa itu merupakan hak prerogatif gubernur namun kita
bisa meletakkan juga dalam bingkai ekonomi
politik yakni Bagi-bagi
kekuasaan dalam berbagai level jabatan dalam birokrasi dan BUMD menunjukkan
gubernur telah dibajak oleh beragam kepentingan, hasil dari praktek vote-buying yang melibatkan timses
(mucikari), komprador (pemilik modal) dan birokrat yang memiliki kuasa
struktural saat pilgub. Hal ini bukan sesuatu yang baru dalam kanca politik di
Indonesia, Nankyung Choi (2004) pernah mengungkapakan pola aktual seperti ini terjadi dalam pemilihan kepala daerah pasca
reformasi, sebagai akibat dari vote-selling
terjadi di level akar rumput dan high
cost. Ingat There no ain’t such
thing as a free lunch, idiom sederhana yang berfungsi sebagai early warning
system untuk bertindak dalam ranah
politik.
Kebijakan seperti ini, tentunya akan melahirkan
figur-figur predator (pejabat rente) yang memangsa figur-figur “innocent”. The right man on the right
place yang diagung-agungkan dalam
pengembangan organisasi modern dilanggar. Terlepas dari konsekuensi sistemik
sistem pemerintahan didaerah dan karakter kepemimpinan kepala daerah
(gubernur), eksistensi pejabat rente adalah bagian dari lingkaran setan korupsi
dengan jabatan dan dinas (SKPD) sebagai episentrum serta BUMD. Posisi pejabat
rente di dalam berbagai level jabatan strategis (basah) pada dinas “basah”
jamak ditujukan sebagai ‘anjungan tunai mandiri’ untuk sekedar memenuhi
kebutuhan pribadi pejabat rente atau memenuhi permintaan sang Tuan. Kemudian eksistensi pejabat rente sebagai
perwujudan legitimasi diperoleh sebagai imbalan kedekatan dengan gubernur
maupun wagub dan juga sebagai imbalan “pengorbanan” saat proses pilgub, bukan
diperoleh karena integritas dan kapabilitas mereka.
Sekuen kedua
Sikap ambivalensi
ditunjukkan Gubernur terkait penggunaan anggaran dalam APBD T.A. 2015. Dalam berbagai kesempatan
Gubernur pernah mengeluarkan statement “prioritas” penggunaaan anggaran tahun
2015 untuk Kab. Halsel, namun wacana tersebut menuai kritik dan desakan dari
beberapa pemda dengan serta merta Gubernur disertai candaan mengatakan bahwa
itu hanya “basedu”. Atau hanya semacam strategi “the test of water”,
untuk melihat sejauh mana reaksi publik, jika reaksinya positif maka kebijakan
tetap dijalankan tidak hanya sebatas wacana sebaliknya bila publik bereaksi
negatif, maka wacana kebijakan tersebut hanya sekedar wacana untuk melengkapi
pementasan teater. Sikap ambivalensi gubernur inilah barangkali yang disebut
Erving Goffman sebagai dramaturgi.
Setali tiga uang
dengan wacana prioritas penggunaan anggaran, ada juga wacana untuk meangalokasikan
100 M untuk PT. Kebijakan ini kalau di amati perkembangannya seolah-olah
Gubernur meciptakan konfrontasi antara legislatif dengan kalangan kampus (forum
rektor) maupun dalam kalangan kampus itu sendiri. Terlepas dari direalisasikan
atau tidak direalisasikan kebijakan tersebut tanpa sadar gubernur telah
menjalankan strategi distribusi problem atas “kegagalan negosiasi
anggaran dengan parlemen.
Anggaran sebagai
perwujudan keberpihakkan pemerintah daerah yang lahir dari proses botom-up tentunnya
lebih responsif terhadap kebutuhan si miskin dan menjadi problem solving bagi
daerah ini. Namun bila anggaran ditujukkan untuk kepentingan komprador, sebagai
bentuk politik balas jasa, maka jangan pernah mengklaim kepentingan dijalankan
atau dari “HATI”. Dengan demikian nalar kerja anggaran sebagai problem
solving berpindah menjadi rent-seeking dan distribusi problem.
Sekuen Ketiga
RPJMD adalah roh dan
instrumen navigasi bagi gubernur dalam menyusun RKP setiap tahun. Tanpa
intrumen navigasi dipastikan gubernur beserta jajarannya akan kesulitan untuk
menjalankan program pembangunan. Sangat Paradoks, RPJMD sebagai “roh” dan
intrumen navigasi dari kepemimpinan AGK-Manthab dalam mejalankan program
pembangunan di”abaikan”, ini terbukti dari Draf RPJMD provinsi Maluku Utara
yang dikonsultasikan Bappeda, ditolak Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Ada kecurigaan proses penyusunan Dokumen RPJMD
tidak taat asas dan tidak mengikuti alur dan juga Dokumen RPJMD di plagiasi
dari RPJMD Propinsi Jawa Barat serta Dokumen RPJMD tidak sinkron dengan RPJMN.
Perlu diingat bahwa
Penyusunan Dokumen RPJMD, keberadaan Data sangat vital adanya. Setiap klaim maupun
argumentasi yang ada dalam RPJMD harus didukung oleh data sebagai pembuktian.
RPJMD bukan hanya narasi prolog yang menggambarkan keadaan daerah ini secara
subyektif namun RPJMD adalah desain pembangunan untuk menjawab permasalahan
utama pembangunan daerah ini (internal) dan mengantisipasi tantangan eksternal.
Disinilah peran krusial dari Balitbangda sebagai bank data dan penyuplai data (selain
BPS) bagi Bappeda dalam menyusun Dokumen RPJMD.
Selain keberadaan
data, peran tim penyusun RPJMD juga sangat penting keberadaannya. RPJMD tidak
dominan berbicara dari aspek ekonomi tetapi multi aspek sehingga tim asistensi
dari perguruan tinggi harus dipilih berdasarkan keahlian bukan berdasarkan
kedekatan dengan imperium kekuasaan....
Tentunya, ironi ini
tidak salah bila kesalahan ditimpakan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur
sebagai penghulu daerah Maluku Utara.
To be Continued
Pementasan Teater
Gosale puncak tidak berakhir sampai disini, kita tunggu sekuen berikutnya, bila
Gubernur tidak pernah belajar dari berbagai sengkarut yang timbul sebagai
akibat dari kelemahan governability Gubernur sebagai penghulu daerah ini. To be Continued.....!!!!!