• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Travel
  • Contact Us

Al-Qalby Institute

“Didiklah dan persiapkanlah generasi penerusmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, karena mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan lagi zamanmu”. By Sayyidina Ali

Fase Perkembangan Civil Society dan Civil Society Organizations/CSOs

Berbicara tentang gerakan civil society di Indonesia, di tengah pengaruh globalisasi dan liberalisasi saat ini yang begitu memuja dan menjadikan modernisasi, demokrasi sebagai mesiah  dari beragam persoalan yang melilit underdeveloped country  dan developing country, tidak terlepas dari transformasi modernitas yang berlangsung di era kolonialisme. Pada dasarnya kolonialisme dengan struktur kekuasaannya menindas dan merampas kebebasan dan resource bangsa ini, merupakan rahim bagi lahirnya gerkan-gerakan civil society yang berupaya melakukan perlawanan kritis melalui proses pemberdayaan masyarakat maupun penolakan-penolakan kebijakan politik pemerintahan kolonial.

Pada dasarwarsa 70-an, merupakan titik awal tumbuhnya civil society organizations/CSOs di Indonesia era pasca kemerdekaan. Orientasi gerakan awal CSOs terfokus pada integrasi masyarakat dalam pembangunan negara. Penekanan  pada mempromosikan modernisasi sosial-ekonomi diantara kelompok-kelompok marginal. Kemudian pada dekade 80-an, terjadi anti thesis dari pergerakan CSOs dimana pada mula mempropmosikan modernitas sebagai sebuah solusi namun pada fase ini CSOs memposisikan sebagai pihak yang mengkritik modernitas. Orientasi gerakan CSOs Indonesia semakin bervariasi, namun yang terdapat kesamaan yakni gerakannya (CSOs) adalah untuk mengkritik konsep modernisasi yang dijadikan sebagai landasan pembangunan.

Anti klimaks dari gerakan CSOs di Indonesia terjadi pada era 90-an,aktifitas CSOs bukan hanya sebagai pihak oposan yang mengkritik namun juga memposisikan atau berperan sebagai“lawan”bagi rezim yang berkuasa dan sebagai corong bagi kelompok-kelompok marjinal yang teralienasi oleh kebijakan pembangunan pemerintah. Kristalisasi dan konsolidasi dari berbagai aktifitas CSOs terjadi saat menjelang berakhirnya kekuasaan rezim orde baru, saat itu CSOs menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap kekuasaan negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan di berbagai bidang. Dengan spektrum perlawanan yakni memberantas KKN. Aktifitas CSOs telah memberikan kontribusi substansial untuk: Meningkatkan partisipasi dan transparansi di Indonesia; membangun infrastruktur hukum dan kelembagaan demokrasi; dan memberikan suara dan advokasi untuk mendukung reformasi.

Setelah memasuki era reformasi, angin segar menaungi pergerakan CSOs di Indonesia. CSOs lebih berperan sebagai penyeimbang negara ketika terdapat proses-proses yang sehat, keterbukaan dan partisipatif yang terjadi di era reformasi. Sesuai dengan pendapat Eisenstadt (dalam Gaffar, 1999: 180) yang menyatakan bahwa setidaknya terdapat 4 syarat yang akan mendorong CSOs tumbuh sebagai gerakan penyeimbang negara: pertama otonomi yang bermakna, civil society independen dari pengaruh negara. Kedua, Aksesibiltas masyarakat terhadap lembaga negara. Dalam konteks relasi negara-warga negara secara inividu maupun kelompok, dalam hal akses terhadap agencies of the state. Ini dimaknai sebagai kebebasan individu dalam melakukan partisipasi politik dengan berbagai bentuknya, apakah dengan menghubungi pejabat (contacting), menulis pikiran di media massa, atau dengan terlibat langsung atau tidak langsung organisasi politik. Ketiga, Arena publik yang otonom, dimana berbagai macam organisasi sosial dan politik mengatur diri mereka sendiri. Keempat, Arena publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan rahasia, eksklusif dan setting yang bersifat korporatif.

Selama sepuluh tahun terakhir (2004-2014) jumlah CSOs di seluruh Indonesia telah tumbuh secara dramatis. Demokratisasi telah menciptakan ruang bagi aktivis masyarakat sipil Indonesia untuk berpartisipasi dalam membangun hak dan mekanisme akuntabilitas dalam masyarakat di mana keterlibatan warga sebelumnya berkecil hati. Otonomi daerah dan desentralisasi telah menciptakan peluang baru bagi warga diselenggarakan untuk terlibat dalam urusan publik.

Dalam perkembangannya gerakan civil society di Indonesia dipengaruhi oleh (Juni Thamrin,2007):
  1. Setting politik, ekonomi, sosial dan budaya pada aras internasional;
  2.  Relasi kuasa dan komposisi aktor-aktor pada aras nasional dan regional,yakni pemerintah, swasta, partai politik dan gerakan gerakan pro-demokrasi;
  3. Orientasi organisasi, terutama visi dan missi, dan
  4. Public Policy dibidang pembangunan, terkait dengan aksesibilitas dan kontrol publik terutama masyarakat miskin.

 Peran Civil Society Organizations/CSOs dalam Pembangungan.
Salah satu aspek penting dari peran CSO bagi pembangunan adalah peran kritis yang dimainkan sebagai gerakan penyeimbang negara dalam menjalankan program pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Kehadiran CSO sebagai representasi masyarakat sipil merupakan faktor penting sebagai bagian dari upaya mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, sebuah paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

Tolok ukur dan arah keberhasilan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) sangat ditentukan seberapa besar irisan sinergis yang dilakukan oleh tiga pelaku pembangunan, yaitu pemerintah, swasta (bisnis) dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan dalam konteks demokrasi dan tata kelola pemerintahaan yang baik.

Peran yang dimainkan masyarakat sipil dalam pembangunan lebih banyak dimotori oleh civil society organization/CSO atau organisasi masyarakat sipil. Saat kesadaran akan pentingnya peran masyarakat sipil menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakan lagi, ternyata keberadaan CSO masih diselimuti  berbagai persoalan mendasar, di antaranya kesenjangan pendanaan kerja jangka panjang, masih lemahnya kapasitas dan struktur kelembagaan, serta ekslusivitas kerja CSO yang minim inisiatif untuk bersinergi dengan pelaku pembangunan lain, potensi konflik yang begitu tinggi antara CSO karena eksistensi CSO terkonfigurasi kedalam beberapa ideologi yang dianut. Masalah ideologis menjadi sulit dipecahkan karena menyangkut keyakinan atas satu nilai dan paham tertentu. Mengingat spektrum aliran CSO sangat luas, sehingga akan membutuhkan upaya ekstra untuk menemukan irisan sinergi untuk sesama CSO dan CSO dengan pelaku pembangunan lainnya yang tidak mengalami problem ideologis dalam mengembangkan kolaborasi dan kemitraan.

Mengacu pada Jakarta Commitment yang secara konseptual sebagai bentuk keseriusan tekad dalam memposisikan Pemerintah Indonesia sebagai leader dalam aid management dan aid coordination, dan juga sebagai bentuk komitmen untuk membangun kemitraan dalam pembangunan yang inklusif dan effektif dengan memperluas keterlibatan aktor  baru antara lain sektor swasta dan masyarakat sipil salah satunya adalah civil society organization (CSO), untuk mendukung upaya-upaya pembangunan.

Senada dengan itu, Paris Declaration merupakan kesepakatan antar pemerintah dengan fokus pada relasi antara pemerintah dan pemberi pinjaman/hibah dalam upaya-upaya peningkatan keefektifan bantuan dengan melibatkan CSO sebagai salah satu chanel penerima official development assistance (ODA). Meskipun demikian, prinsip alignment dalam Paris Declaration tidak hanya berkaitan dengan relasi antara pemerintah dan lembaga/Negara pemberi pinjaman/hibah melainkan juga melibatkan CSO, seperti yang tertuang dalam Rekomendasi 4b yang ditetapkan Advisory Group on Civil Society and Aid Effectiveness (2008), yang menyatakan bahwa:
“Deepen understanding and application of the Paris Declaration Principles in ways that emphasise local and democratic ownership, social diversity, gender equality, and accountability for achieving result of benefit to poor and marginalised populations as essential conditions of effectiveness”.

Selanjutnya untuk mengindentifikasi peran CSO sebagai aktor pembangunan adalah dengan melihat keterlibatan CSO sesuai dengan kapasitas dan peran yang merupakan bagian dari arsitektur bantuan internasional yakni sebagai salah channel dan penerima official development assistance (ODA), sebagai donor maupun sebagai watchdog terhadap pelaksanaan kebijakan publik.
Grafik Perkembangan Penyaluran ODA ke Sektor Government dan Civil Society
Sumber:http://stats.oecd.org

CSOs secara inheren mengisi berbagai peran dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Peran yang dimainkan oleh CSOs dikelompokkan menjadi 4 kategori besar:
1)    Civic engagement;
2)    Social mobilisation and advocacy;
3)    Humanitarian assistance; dan
4)    CSOs as donors, channels and recipients of aid.
Tiga kategori pertama menekankan peran CSOs sebagai aktor pembangunan dan kategori keempat menekankan peran dan hubungan CSOs dengan lembaga donor internasional.


Permasalahan Mendasar Civil Society Organizations/CSOs di Indonesia

Fakta menarik saat ini dari diskursus tentang CSOs di Indonesia adalah tentang kemandirian dari sisi pembiayaan, dimana ada tuduhan dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa aktifitas CSOs yang didanai oleh pihak asing merupakan antek-antek asing yang bersuara atas nama kepentingan asing (donor) apakah itu koorporasi maupun  negara. Richard Holloway dalam bukunya Menuju Kemandirian Keuangan (Yayasan Obor Indonesia, 2001), sudah mewanti-wanti LSM Indonesia untuk bersiap mandiri dan tidak bergantung terus pada dana asing. Diantaranya, dana asing membuat posisi CSOs lemah secara politis. Terutama, ketika harus menepis tuduhan bahwa kegiatan mereka atas bayaran dan sesuai instruksi kekuatan asing yang mungkin saja dapat merugikan negara Indonesia. Sinyalemen itu sudah menjadi rahasia umum. Bahkan Kompas pernah melakukan liputan mengenai akuntabilitas LSM atau NGO, pada edisi 16, 18, dan 19 April 2007.

Pada level substansi diskursus tentang CSOs adalah pendefinisian siapa yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Pada wilayah ini seringkali terjadi dikotomi antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat dan kelompok masyarakat politik. Fenomena yang menarik yang diungkap dalam laporan Lokakarya Pengukuran Indeks Kesehatan Masyarakat Sipil yang dilakukan oleh Yappika di 6 region, dengan menyatakan bahwa masyarakat sipil sendiri mempunyai konsepsi sendiri dalam memaknai civil society maupun civil society organizations yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik di daerah masing-masing (Novri Susan. 2007). Adakalahnya organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM serta lembaga kemasyarakatan berbasis komunitas ataupun profesi tentunya  didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media.

Dalam pengelolaan dan pemanfaatan trust fund/hibah,problem yang muncul adalah terkait dengan isu keefektifan tidak sebatas pada pinjaman/hibah semata namun juga pada aktor-aktor yang terlibat di dalamnya yang harus memiliki standar keefektifan yang memadai. Untuk itu dibutuhkan standar rujukan sebagai pedoman etis-normatif sebagai kerangka kerja yang mengartikulasikan seluruh potensi yang dimiliki oleh CSOs.
“Terpenuhinya hak-hak publik adalah esensi dari demokrasi itu sendiri”
(Zara Sulaiman, 2016)

Kekecawaan terhadap demokrasi (output dan outcome) mewabah hampir seluruh lapisan masyarakat. Demokrasi menghadirkan surplus politisi tetapi deficit negarawan.  Tak terkecuali pemilukada sebagai implementasi dari demokrasi procedural ditingkat lokal, pemilukada tak ubahnya perebutan “kekuasaan” para elit daerah yang berkostum etnisitas. Memang tak salah bila bordieau mengatakan bahwa kontestasi politik daerah adalah etnisitas. Saya sangat memaklumi dan termasuk yang membenarkan tesis bordieou tersebut, jika dilihat dari praktek yang berlangsung selama ini. pemilukada tak ubahnya pemilihan kepala suku.
Mengingat keadaan ini, tak salah bila masyarakat apatis terhadap pelaksanaan demokrasi baik pada aras nasional maupun pada aras lokal. Bagi saya pemilukada sebagai instrument yang disediakan untuk mengakomodasi dan memoderasi kepentingan publik tidak akan pernah beranjak dari apatisme masyarakat, bila berkaca pada dampak dari pilihan untuk berdemokrasi secara procedural, bisa dilihat dari gagalnya tata kelola pemerintahan di daerah, rendahnya serapan anggaran yang berimplikasi pada minimnya penyediaan layanan bagi publik, besarnya belanja hibah sebagai bagian dari balas jasa pasca pemilukada.
Terpenuhinya hak-hak publik adalah esensi dari demokrasi itu sendiri. Jangan pernah mau  melaksanakan demokrasi, bila demokrasi justru menjadi akar penyebab dari keterpurukan ekonomi pada lembaga maupun individu. Kenapa saya tekan seperti itu, karena hanya demokrasi saat ini yang menjadi pilihan utama dalam bernegara dan menjadi maindstream dalam bernegara.
Namun demokrasi yang menjadi pilihan kita lebih berorientasi pada procedural yang dipraktekkan selama ini dengan mengabaikan aspek kapabilitas dan integritas sebagai prasayarat utama. Sebaliknya lebih praktek demokrasi saat ini lebih menekankan pada keuntungan material belaka Pendekatan untung-rugi menjadi tolok ukur dalam menentukan dukungan. Tak masalah jika kandidat yang diusung terindikasi bermasalah dengan hukum, tidak dibenarkan juga mengusung kandidat yang peluang menang sangat tipis meskipun secara kualitas memiliki kapabilitas dan integritas dalam memimpin. Politic of number  menjadi tameng yang setiap saat bisa menjadi alat justifikasi dalam pengambilan keputusan.
Jika masih demikian jangan pernah berharap lebih terhadap demokrasi yang mampu memperbaiki dan menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat. Bila elektabilitas (political of number) lebih dimaknai sebagai angka-angka yang lahir dari proses “ilmiah” tetapi sejatinya sangat jauh dari praktik bebas nilai, karena pada prakteknya elektabiltas tak mampu memisahkan yang aktual dari yang ideal, yang nyata dari yang diharapkan. Alhasil demokrasi prosedural melahirkan kepemimpinan transaksional yang didominasi nafsu purba Laswellian: “who gets what, when, and how.” Bukannya melahirkan kepemimpinan transformasional yang berciri idealized influence, intellectual stimulation dan individualized consideration. Pemimpin yang lahir dari demokrasi procedural, sebagian besar bermasalah dengan etika dan moral serta tidak mampu menggerakkan birokrasi dalam melayani masyarakat. Sengkarutnya tata kelola pemerintahan provinsi Maluku Utara bisa dijadikan contoh.
Bila kita meminjam konsep virtù dan fortuna yang diperkenalkan oleh Machiavelli untuk memastikan sirkulasi elit daerah dalam konteks demokrasi procedural. Konsep virtù dan fortuna yang bertumpu pada peran individu selaku aktor mandiri yang memiliki, menciptakan dan memanfaatkan sumberdaya politik untuk mencapai tujuan, setidaknya akan memberi harapan bagi publik dalam berdemokrasi untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan hak-hak mereka (publik). Konsep Virtù terdiri atas kecerdasan, reputasi, ketelitian, keberanian strategis dan taktis, serta dukungan masyarakat. Sementara fortuna adalah kans atau keberuntungan dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi penguasa atau calon penguasa tanpa implikasi keharusan atau nasib (Liddle, 2011: 27).
Di akomodirnya calon independen dalam demokrasi prosedural setidaknya menjadi jalan tengah, ditengah kemerosotan peran partai politik dalam menyediakan stok kepemimpinan dalam berbagai level pemerintahan dan bisa juga dimaknai sebagai penerapan konsep virtù dan fortuna dalam praktek demokrasi procedural. Untuk itu tak perlu kita hiraukan apa yang dihujat oleh oleh Marx dan pengikutnya terhadap demokrasi dengan menyatakan “untuk membuang sang bayi, demokrasi, bersama bak mandinya, kapitalisme, sekalian”. Tidak perlu juga kita terjebak pada pemikiran Marx dan pengikutnya dengan mentalisme manja dan genit yang meraung-raung menangisi residu kapitalisme pasar yang menciptakan kepincangan dalam medan pertarungan demokrasi yang menghambat sirkulasi elit didaerah.
Kondisi demokrasi saat ini menjadi grey area persinggungan antara moralitas pribadi dan moralitas politik tak terhindarkan. Terbukanya keran calon independen merupakan bukti tingginya tensi antara moralitas pribadi dan moralitas politik. Tetapi dengan diakomodirnya calon independen dalam pemilukada menjadi ujian bagi demokrasi sendiri, dimana demokrasi demokrasi memandang semua orang memiliki keunikan tersendiri, tapi demokrasi juga memandang bahwa semuanya setara (McClosky dan Zaller, 1984).
Apapun keadaan demokrasi saat ini yang sudah kita pilih sebagai sistem yang menjamin sirkulasi kepemimpinan di daerah, tujuan utama adalah melahirkan pemimpin yang mampu menciptakan kohesi kebangsaan yang kuat ditengah semakin menguatnya etnisitas, kedaerahan serta pribumi. Melahirkan pemimpin berwatak penjual sekaligus pembeli harapan ini sejalan dengan petuah Napoleon Bonaparte “A leader is a dealer in hope”. Pemimpin yang memiliki kemampuan teknokrasi mumpuni ditengah resitensi ditubuh birokrasi dan tarik menarik kepentingan politik dan tuntutan publik.
Akhir kata praktek demokrasi bagaimanapun, perlu ditata lebih rapi untuk mengimbangi tuntutan-tuntutan publik yang terus bergerak dengan tetap mengedepankan prasayarat utama yang menjamin adanya sirkulasi elit didaerah yakni virtù dan fortuna. Jika tidak, demokrasi tak lebih dari alat hegemoni elit untuk melanggengkan kekuasaan dengan mengabaikan kepentingan publik.
Oleh: Suleman Samuda
Pemuda Bastiong Talangame dan Ketua Markas Komando Bastiong Talangame

Sesaat setelah membaca judul tulisan ini, akan muncul pertanyaan apa itu “Bastiong Talangame Dream”?. Perlu diketahui bahwa Bastiong Talangame Dream merupakan sebuah impian yang dirumuskan oleh Pemuda Bastiong Talangame yang tertuang dalam “Bastiong Talangame Message 2015”, dengan tagline Dari Bastiong Talangame untuk Kota Ternate. Bastiong Talangame Dream dimaksudkan untuk memberi isyarat kepada Pemimpin (Walikota dan Wakil Walikota) Ternate bahwa Pemerintah yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan pembangunan yang inklusif merupakan sebuah keniscayaan yang harus di wujudkan dalam tata kelola pemerintah.

Tunggangan Politik
Saat ini hingga beberapa bulan kedepan, isu kinerja pemerintah terkait dengan pemerintahan yang responsif dan pembangunan yang inklusif tetap akan menjadi isu seksi yang mengundang banyak pihak baik akademisi, masyarakat, maupun terutama para politisi, para birokrat dan pimpinan birokrasi, hanya untuk sekedar mendiskusikan dalam menakar dan menggambar birokrasi dan program pembangunan pemerintahan sebelumnya dan bahkan ada juga yang menjadikan sebagai amunisi politik untuk menyerang pihak lawan ditengah momentum pemilihan walikota Ternate periode 2016-2021.

Pernyataan ini sengaja saya simpulkan dengan berdasarkan fakta bahwa belakangan ini banyak sekali kerancuan yang muncul kepermukaan dalam menilai kinerja pemerintah dan tentunya ini juga menjadi sorotan masyarakat yang dikompori oleh pihak oposan dalam menabuh genderang “perang” politik. Untuk itu, saya mengangkat kedalam tulisan ini dengan maksud agar kinerja pemerintah didudukkan sebagai diskursus dalam rangka perbaikan pemerintahan kedepan, agar diskursus terkait kinerja pemerintah senantiasa berada pada jalan (track) yang benar dan tepat dalam rangka membangun pemerintah yang responsif dan pembangunan yang inklusif bagi masyarakat kota Ternate.

Patut disesalkan, ketika momentum politik seperti ini, dia yang seharusnya mendudukan dirinya sebagai bapak pemersatu, namun ia datang dan berperan sebagai kuda tunggangan ketika sosok calon walikota yang paranoid akibat gagal berulangkali dalam pencalonan. Ketika semua lapisan masyarakat mulai diajak kembali ke romantisme masa lalu saat menjadi pemimpin daerah ini. Sekalipun dalam masa kepemimpinannya penuh celah dan kekurangan sana-sini, dipoles agar terlihat berhasil dan mengagumkan. Sosok ini di tonjolkan dengan harapan akan membangkitkan unsur ikutan seperti: land lord dan ethnicity, dalam mendulang perolehan suara.

Titik Tekan Membentuk Pemerintah yang responif
Seyogyanya menjadi perhatian semua pihak bahwa pemerintah (birokrasi) merupakan kekuatan besar. Kegiatannya menyentuh hampir setiap sendi kehidupan warga negara. Ini menandakan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Karena masyarakat yang hidup dalam suatu teritorial terpaksa menerima kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut tanpa terkecuali. Selain itu memang birokrasi merupakan garis terdepan (level street bureaucrat) yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik kepada masyarakat.

Tidak berlebihan bila ada yang beranggapan bahwa gagalnya tata kelola pemerintah akan berdampak luas pada nasib masyarakat, dan tentu saja berdampak pada pembangunan dan pelayanan publik. Nasib masyarakat akan semakin terpuruk karena pemerintah tidak responsif terhadap setiap kebutuhan masyarakat serta tidak berfungsinya pelayanan publik karena pelayanan tidak inklusif dan akan cenderung mendistorsi pembangunan yang berkeadilan, pembangunan untuk seluruh lapisan masyarakat.

Derajat kepekaan pemerintah untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan masyarakat mengenai perkembangan sosial ekonomi. Menjadi cerminan dalam mengukur apakah suatu pemerintah responsif atau tidak. Karena kedudukan pemerintah seharusnya sebagai pelayan masyarakat yang bersifat horizontal partisipative.

Mambangun prakarsa publik melalui perubahan mindset tata kelola pemerintah yang cendrung vertical-top down menjadi pemerintah yang lebih ramah dan dekat dengan masyarakat dengan menggagas program “public hearing” dengan fokus penyelenggaran di tingkat kelurahan. Public hearing berbeda dengan model komunikasi pembangunan yang dipakai Jokowi yakni blusukan. Bila blusukan hanya menempatkan kepala daerah sebagai tokoh sentral, sebaliknya public hearing menempatkan masyarakat sebagai tokoh sentral. Dengan public hearing sama saja dengan meniadakan limitasi peran serta publik dalam program pembangunan

Dalam menjalankan program public hearing dibutuhkan bridging leader. Dengan kapasitas kepemimpinan yang mampu menggerakkan  dan menjaga proses perubahan dari beragam stakeholder. Bridging leader menekankan kolaborasi antara berbagai SKPD dengan menanggalkan ego sektoral untuk menjawab tuntutan masyarakat.

Pembangungan yang Inklusif
Pada tingkat terendah pembangunan yang inklusif mengacu pada individu sebagai perwujudan dari free will yang melekat pada diri-diri manusia sebagai salah satu pemberian paling berharga dari sang pencipta. Pembangunan yang inklusif memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap masyarakat untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal sebagai jaminan terselenggaranya social order. Menafikkan keberagaman masyarakat baik dari segi potensi dan asal muasal  sama saja dengan membiarkan daerah ini tercabik-cabik.
Pembangunan yang inklusif diharapan akan mendorong kemampuan daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan karakteristik ekonomis, geografis dan sosial budayanya.

Akhir kata, hanya para pemimpin berkomitmen dan mampu memberi teladan serta benar-benar meluhurkan nilai-nilai moral dan akhlak, yang mampu menjalankan amanah yang dititipkan rakyat untuk membentuk pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat akan pembangunan yang inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat, dalam kerangka dasar membangun Kota Ternate yang Insya Allah lebih baik dalam tatanan adat seatorang.
Suatu ketika saya mendapati sekumpulan anak muda yang sedang berdiskusi. Salah seorangnya berseru menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi faktual daerah ini. Dengan lantang menyatakan, "sudah lima tahun menjabat tetapi janji-janji politik saat pencalonan lima tahun lalu tidak dipenuhi, ada persoalan-persolan mendasar yang tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintahan mereka, sebelum selesai masa jabatannya, kita harus menuntut (menagih) janji mereka agar dipenuhi”. Lantas yang lain berseloroh menyatakan “kamu kan dahulu termasuk tim sukses yang berhasil mengantar pasangan tersebut menduduki jabatan penghulu daerah ini?”. Dan yang lain juga menyatakan “Demokrasi kitakan demokrasi supermarket dimana bila anda memilih seorang pemimpin yang menjanjikan sesuatu kemudian dia ingkar janji setelah jadi sedangkan anda tidak punya kuasa untuk menarik dukungan anda. Perlu diingat  ada hukum yang berlaku di supermarket "barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan"

Rupanya dari peristiwa ini menggambarkan bahwa begitu mudahnya menarik dukungan dengan menyodorkan permasalahan tanpa disertai indikator yang jelas untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu rezim  sebagai justifikasi perubahan peran dan sikapnya. Wacana menagih janji politik dengan menggulirkan visi-misi dengan mengatasnamakan suara rakyat adalah suara tuhan untuk melabeli keresahannya. Ini menandakan kecendrungan kedua arah, pertama kecewa sebagai masyarakat yang terekslusi oleh kebijakan pemerintah dan yang kedua kecewa sebagai martir (tim sukses) karena tidak mendapatkan imbalan yang layak (menurutnya).

Keprihatinan dalam bentuk kritikan sah-sah saja disampaikan dalam era demokrasi saat ini, namun perlu diingat bahwa dalam mengkritik kita harus obyektif dalam melihat kondisi faktual. Obyektif dengan menentapkan indikator yang digunakan untuk mengkritik. Bukan malah mengkritik dengan tendensi politik. tentunya masyarakat berharap bahwa kritik yang ditujukan kepada pemimpin harus menjelaskan secara rasional bentuk keprihatinan yang disertai dengan data-data, bukan malah menyajikan permainan kata-kata yang mirip seperti bait-bait puisi.

Kritikan yang disampaikan menjelang momentum pemilukada menunjukkan bahwa arena kontestasi politik lokal mulai berdenyut, riak-riak kecil yang ditimbulkan kekecewaan mulai menampakkan diri dengan memanfaatkan kompetisi antara pasangan calon yang bertarung pada momentum pemilukada.

Pemilukada merupakan arena kontestasi politik dengan kompetisi antar pasangan kandidat dan pemenangan ditentukan suara terbanyak oleh pemilih. Bila disimak secara saksama secara konseptual metafora itu terwujud dari tiga modal utama yang dimiliki oleh para calon yang akan mengikuti kontestasi dalam pemilukada tersebut. Ketiga modal itu adalah political capital, social capital dan economical capital (Marijan Kacung, 2006;89). ketiga modal ini dapat mempengaruhi seorang kandidat dalam memperoleh dukungan dari masyarakat. Semakin besar akumulasi modal yang dimiliki oleh seorang kandidat maka semakin besar pula dukungan yang diperoleh dan semakin besar pula hasrat komprador politik untuk bergabung guna mengeruk keuntungan.

Celakanya elit lokal yang bertarung tidak memiliki keseluruhan modal utama tersebut dan diperparah dengan sikap paranoid dari elit yang bersangkutan. Disinilah celah yang dimanfaat oleh komprador politik untuk bermanuver. Sikap opurtunis, pemburu rente komprador politik lalu bersenyawa dengan sikap paranoid membentuk kontruksi relasi simbiosis mutualis dengan mengorbankan kepentingan daerah (masyarakat).

Mereka (komprador) ini gemar terlibat dalam aktivitas politik yang menggunakan mekanisme demokrasi langsung dengan penetapan jumlah suara terbanyak sebagai penentu pemenang. Mereka [komprador] sudah terbiasa mendudukan dirinya sebagai operator yang berjiwa kacung, tetapi berpenampilan elit yang seakan-akan berilmu. Padahal tidak memiliki pengetahuan mengoperasionalkan komunikasi politik untuk menjajakan barang dagangannya (marketing politic).  Vox populi, vox dei seolah menjadi mantra sakti untuk melabeli setiap aktivitas mereka.

Daerah ini hancur oleh aktivitas relasi transaksional antara Pemimpin-Komprador politik dan kepentingan masyarakat sebagai tumbalnya, relasi ini terbangun saat momentum politik akibat ulah para komprador politik, yang pastinya mereka berjiwa munafik-bicara dusta-ingkar janji dan khianat. Dimana akan menjadi oposan bila imbalan yang diterima tidak sebanding dengan harapan mereka.

Tidak berlebihan bila komprador politik dengan mudah menarik dukungan dan berperan sebagai oposan, dengan mengkritik penguasa karena demokrasi memberikan mereka ruang untuk itu. Demokrasi memberi mereka (komprador) tempat untuk bersiyasah menancapkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat. Maklum, demokrasi ditafsir dengan nalar oportunis dan pemburu rente yang sudah barang tentu menguntungkan secara ekonomi maupun politik.


Dengan kenyataan demikian lantas siapa yang harus menghentikannya? Demokrasi yang kita pilih sebagai instrumen dalam menentukan dan memilih pemimpin harus dikembalikan pada khitahnya yakni dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat melalui pematang konstitusioal. Memang muncul sebuah dilema di sini. Jika watak oportunis, pemburu rente dan pengkhianatan terhadap kepentingan masyarakat, dan berhak menggugah kesadaran publik tanpa merasa bersalah karena turut andil mengantarkan elit lokal ke tampuk singgasana penghulu daerah ini, itu tetap saja berjalan,  maka menurut saya sangat sederhana dan singkat untuk mengatakan : "Itu karena mereka merasa benar dijalan yang sesat”.Top of Form
Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

LATEST POSTS

  • Metode Penelitian CROSS-SECTIONAL
    Sumber Gambar dari Google Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow ...
  • Merencanakan Pembangunan
    sumber gambar:  bangimsarlubis.wordpress.com BARANGKALI tujuan paling penting bagi semua pemerintahan adalah melakukan pembangunan. Bah...
  • Memahami Wacana dan Perkembangan Civil Society Organization/CSO di Indonesia
    Fase Perkembangan Civil Society dan Civil Society Organizations/CSOs Berbicara tentang gerakan civil society di Indonesia, di tengah peng...
  • PLAGIARISME
    Sumber Gambar  rmtcumi.wordpress.com    Anti Plagiarisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengajarkan kepada kita semua agar...
  • Letakkan Dunia ditanganmu bukan Hatimu
    “Hidup adalah Ujian” Penggalan Kalimat ini sering kita dengar, bukan  tidak berdasar tetapi sesuai dengan firman Allah   menjadikan  hidu...
  • Album Program Magang Dosen Dikti di UGM Tahun 2012 [part 1]
    Lantai 3 Perputakaan Pusat UGM Foto Bersama Ibu Lilik Uswah (Head World Bank Corner Perpustakaan UGM
  • “Bari fola; Modal sosial dan instrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana”
    Masyarakat tangguh bencana adalah masyarakat yang  mampu mengatasi kerusakan yang disebabkan terjadinya bencana alam, dengan cara mempert...
  • Urbanisasi = Pengangguran + Kemiskinan
    Urbanisasi Pembangunan dan kemiskinan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, Pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan Ma...
  • PLAGIASI; Pengabaian Hak-Hak Intelektual Tanggapan atas tulisan Rinto Taib & Lanny Losung tentang “BARIFOLA & WORLD CULTURE FORUM 2016”
    Pengakuan terhadap karya orang lain adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap kepemilikan gagasan d...
  • Engkau Jujur Kepada Allah Allah pun Mewujudkan Cita-Citamu
    Kejujuran dalam beragama Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih, An-Nasai dan lain-lain, dari Syaddad bin Al-Had bahwa ada s...

Categories

  • Album Program Dosen Magang Dikti di UGM
  • Catatan Islami
  • Catatan Kuliah
  • Catatan Pinggir
  • Kisah-Kisah Islami
  • Materi Kuliah
  • Pernak- Pernik

Recent Posts

Al-Qalby Instiute. Diberdayakan oleh Blogger.

Quote of the day


ABOUT ME

Foto saya
Prabu Suleman
Yogyakarta, Indonesia
Ridha Allah adalah prioritas utama dalam perjalanan hidup..... Cukuplah maut yang menjadi Nasehatku.......
Lihat profil lengkapku

Dokumentasi

  • ▼  2016 (2)
    • ▼  Agustus (2)
      • Memahami Wacana dan Perkembangan Civil Society Org...
      • DEMOCRACY
  • ►  2015 (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2014 (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
  • ►  2012 (20)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (7)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)

Labels

  • Album Program Dosen Magang Dikti di UGM
  • Catatan Islami
  • Catatan Kuliah
  • Catatan Pinggir
  • Kisah-Kisah Islami
  • Materi Kuliah
  • Pernak- Pernik

Hi There, I am

Popular Posts

  • Metode Penelitian CROSS-SECTIONAL
    Sumber Gambar dari Google Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow ...
  • Merencanakan Pembangunan
    sumber gambar:  bangimsarlubis.wordpress.com BARANGKALI tujuan paling penting bagi semua pemerintahan adalah melakukan pembangunan. Bah...
  • Memahami Wacana dan Perkembangan Civil Society Organization/CSO di Indonesia
    Fase Perkembangan Civil Society dan Civil Society Organizations/CSOs Berbicara tentang gerakan civil society di Indonesia, di tengah peng...
  • PLAGIARISME
    Sumber Gambar  rmtcumi.wordpress.com    Anti Plagiarisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengajarkan kepada kita semua agar...
  • Letakkan Dunia ditanganmu bukan Hatimu
    “Hidup adalah Ujian” Penggalan Kalimat ini sering kita dengar, bukan  tidak berdasar tetapi sesuai dengan firman Allah   menjadikan  hidu...
  • Album Program Magang Dosen Dikti di UGM Tahun 2012 [part 1]
    Lantai 3 Perputakaan Pusat UGM Foto Bersama Ibu Lilik Uswah (Head World Bank Corner Perpustakaan UGM
  • “Bari fola; Modal sosial dan instrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana”
    Masyarakat tangguh bencana adalah masyarakat yang  mampu mengatasi kerusakan yang disebabkan terjadinya bencana alam, dengan cara mempert...
  • Urbanisasi = Pengangguran + Kemiskinan
    Urbanisasi Pembangunan dan kemiskinan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, Pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan Ma...
  • PLAGIASI; Pengabaian Hak-Hak Intelektual Tanggapan atas tulisan Rinto Taib & Lanny Losung tentang “BARIFOLA & WORLD CULTURE FORUM 2016”
    Pengakuan terhadap karya orang lain adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap kepemilikan gagasan d...
  • Engkau Jujur Kepada Allah Allah pun Mewujudkan Cita-Citamu
    Kejujuran dalam beragama Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih, An-Nasai dan lain-lain, dari Syaddad bin Al-Had bahwa ada s...

About Me

Popular Posts

  • Metode Penelitian CROSS-SECTIONAL
    Sumber Gambar dari Google Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow ...

Advertisement

Blogger templates

Designed by OddThemes & Distributed by MyBloggerThemes