“Bari fola; Modal sosial dan instrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana”
Masyarakat
tangguh bencana adalah masyarakat yang
mampu mengatasi kerusakan yang disebabkan terjadinya bencana alam,
dengan cara mempertahankan struktur sosial pra-bencana mereka, atau menerima
perubahan kecil atau besar untuk bertahan hidup.[1]
Bencana adalah peristiwa
yang menimbulkan ancaman bagi manusia, lingkungan, struktur masyarakat, dan
ekonomi. Artinya bahwa manusia (individu dan masyarakat) memiliki kerentanan
dan bisa juga memiliki ketahanan dalam menghadapi bencana. Pada kurun waktu 105
tahun frekuensi bencana meningkat dengan kata lain trend bencana naik dari 93
bencana yang terjadi pada tahun 1900-1909 meningkat menjadi 4850 bencana yang
terjadi pada tahun 2005. Bencana yang terjadi dalam kurun waktu 105 tahun
memakan korban jiwa sebanyak populasi penduduk Belanda dan Prancis[2].
Dari frekuensi bencana
yang terus meningkat bukan tidak mungkin akan mempengaruhi kapasitas masyarakat
(secara individu maupun komunitas) dalam menghadapi bencana. Bagaimana respon
seseorang dalam menghadapi bencana dipengaruhi oleh konsep ketahan dan
kerentanan. Ada berbagai macam literatur yang mencoba menjelaskan hubungan
antara kerentanan dan ketahanan dalam konteks bencana. Bencana merupakan
konsekuensi dari kerentanan sosial dan ekonomi dari faktor alam. Beberapa
pendapat lain sebut saja Amartya sen
melihat kerentanan bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi belaka karena
tidak memiliki kekayaan tapi kerentanan terkait faktor politik, sosial dan
ekonomi serta fisik.
Jika kerentanan selalu
dikaitkan dengan tingkat kuantifikasi potensi kerugian yang diderita maka
ketahanan terkait dengan kualitas yang dimiliki untuk menghadapi bencana. Untuk
mengurangi resiko dan dampak dari bencana apakah perlu mengatasi atau
mengurangi faktor kerentanan masyarakat terlebih dahulu? ataukah membentuk
ketahanan masyarakat itu sendiri? Dialektika konsep dan aplikasi yang mewarnai
studi penanganan bencana selama ini.
misalnya[3]
Pelling memandang ketahanan sebagai
komponen kerentanan atau kemampuan seorang aktor untuk mengatasi atau beradaptasi
dengan bahaya stres. Dalam hal ini, pada dasarnya meliputi persiapan
direncanakan dan penyesuaian spontan atau direncanakan dilakukan dalam
menghadapi bencana alam. Sedangkan Folke
et al melihat ketahanan adalah kebalikan dari kerentanan pada sisi positif
yakni kapasitas untuk melawan dari kerusakan dan perubahan dalam hal terjadinya
bahaya alam.
Secara aplikatif
(kemampuan menangani krisis dan bencana) ketahanan berbeda dengan kerentanan.
Di sisi lain, kerentanan hanya meliputi kerentanan individu untuk menderita
kerusakan dan dengan demikian bisa mengubah terjadinya bahaya alam menjadi
bencana. Kedua konsep mungkin bergantung pada faktor-faktor yang sama
(demografi, sosial, budaya, ekonomi, politik, dll) namun bervariasi pada skala
yang berbeda. Masyarakat tangguh mampu mengatasi kerusakan dengan terjadinya
bencana alam, baik melalui mempertahankan struktur sosial pra-bencana mereka,
atau melalui menerima perubahan marjinal atau perubahan besar untuk bertahan
hidup.
Masyarakat Maluku Utara
sebagai sebuah entitas dan identitas budaya tentunya memiliki tradisi yang
berakar dari budaya leluhur yang dilaksanakan sampai saat ini. Ada beberapa
tradisi di Maluku Utara yang saat ini tetap dilaksanakan namun menyesuaikan
dengan konteks saat ini, misalnya Hapolas[4]
untuk suku Makian dan Bari fola untuk suku Tidore.
Dalam paper ini saya akan
mencoba mengulas barifola sebagai modal sosial dan instrumentasi masyarakat
tangguh bencana dari beberapa level. 1). Individu- bagaimana barifola
mempengaruhi kapasitas individu dalam merespon bencana?. 2). Masyarakat-
bagaimana modal sosial “barifola” beroperasi secara spesifik? dan efeknya
terhadap ketahanan masyarakat?
Modal sosial bencana pada
tingkat individu menggambarkan jaringan sosial pribadi keluarga, teman,
tetangga, kenalan, dan organisasi yang individu anggap mampu memberikan bantuan
untuk kegiatan yang terkait dengan bencana. Proses ini memiliki implikasi untuk
ketahanan individu, berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki individu dan apa
yang mereka terima dari jaringan sosial
itu.
Pada tingkat masyarakat,
praktek modal sosial sangat bervariasi ada yang diformalkan dalam bentuk
organisasi dan ada yang dipraktekkan begitu saja dalam lingkup kesukuan dengan
berbagai tingkat keterlibatan. Praktek
barifola dilembagakan dalam organisasi yang berorientasi kedaerahan yakni
paguyuban Ikatan Keluarga Tidore (IKT). Tingkat keterlibatan individu dimulai
dari tingkat organisasi level terendah yaitu pada level kelurahan kemudian pada
level atasnya.
Kerangka
Teoritis
Penting kiranya untuk memahami barifola dari perspektif
modal sosial (social capital) dan perspektif pengelolaan bencana. Dalam perspektif modal sosial barifola
dipandang sebagai agregasi hubungan sosial, sumberdaya dan kepemilikan yang
dibingkai dalam tradisi.
Bari
Fola[5]
Bari Fola dalam bahasa
Tidore terdiri atas 2 kata: “Bari” dan “Fola”. Kata BARI bermakna gotong royong
dan kata FOLA berarti Rumah. Jadi, BARI FOLA dapat diartikan “bergotong royong
membangun rumah”, mulai dari mempersiapkan bahan-bahannya hingga membantu
membangun rumahnya. Karakteristik yang dimiliki “Bari” (gotong royong) ialah
makanan yang disajikan sangat sederhana atau dalam istilah masyarakat Tidore
disebut “alakadar”. Makanan, minuman dan lainnya disediakan oleh keluarga yang
melaksanakan hajatan dibantu oleh kerabat dan tetangga. Sementara dalam tradisi
Bari Fola juga dikenal dengan istilah “mayae” yaitu pihak yang dimintai bantuan
untuk bergotong royong membangun rumah. Misalnya dialek masyarakat Tidore dalam
tradisi Bari Fola “Om Umar[6]
mayae jou ngon madigali simo sogoko simo na fola” (Om Umar meinta tolong
Anda membantu beliau mendirikan rumahnya); “Tabea
jou ngon moi-moi, ngom ni Bari re kala ma gai laha lau ua”. (Mohon maaf kepada
kalian semua, hidangan alakadar kami
[dalam Mayae ini] mungkin keliahatannya kurang pantas/kurang berkenaan dengan selera).
Tradisi Bari dimasa lalu dilakukan terutama
untuk sesama dengan maksud untuk meringankan pekerjaan, diantaranya membantu
sesama warga masyarakat membangun rumah, membuka kebun atau ladang, bahkan
menjadi kekuatan pembangunan dalam mengadakan sarana prasarana umum misalnya
sekolah, rumah ibadah, pasar rakyat/tradisional, jalan, jembatan, sarana
perekonomian dan lainnya.
Saat ini tradisi Bari lebih dikhususkan untuk membangun
rumah warga yang tidak mampu. Melalui wadah Ikatan Keluarga Tidore (IKT) Kota
Ternate Bari Fola dijadikan sebagai aksi sosial memperbaiki rumah tinggal warga
masyarakat yang kurang mampu. Aksi sosial ini dilaksanakan secara swakarsa dan
swadana yang bersumber dari gerakan calamoi[7],
infaq, sadaqah, dan sumbangan dari para anggota paguyuban yang berkecukupan.
Awalnya kegiatan Bari Fola yang di
prakarsai oleh IKT Kota Ternate dibiayai dengan menggunakan mekanisme gerakan
Kotak Calamoi dalam setiap pengajian dan
arisan bulanan anggota IKT disetiap kelurahan. Dari dana yang terkumpul
kemudian dijadikan dana stimulus pembangunan rumah dalam kegiatan Bari Fola.
Agar Bari Fola berjalan
tanpa mengabaikan aspek teknis dan konstruksi rumah, setiap rumah yang dibangun disesuaikan dengan
standar bangunan IKT dan desain rumah dikerjakan oleh anggota IKT yang memiliki
kualifikasi keahlian Arsitek dan rancang bangun rumah. Dengan tetap
mengedepankan kualitas pengerjaan agar tertata rapi dan kordinasi berjalan
lancar dibentuklah beberapa kelompok
kecil yang terdiri dari pekerja bangunan. Pimpinan dan anggota kelompok ini
akan bekerja secara bergantian agar tidak mengganggu pekerjaan bagi penghidupan
mereka dan keluarga. Pimpinan dan anggota kelompok ini bertindak sebagai
pengarah dan pengendali teknis pengerjaan.
Setiap awal kegiatan Bari
Fola diadakan setiap anggota diberi bantuan 15 Kg Beras, 2kg Gula, dan uang
secukupnya untuk keperluan makan keluarga mereka. Bantuan tersebut diberikan
dengan asumsi sebagai pengganti upah pekerjaan rumah. Lama waktu pelaksanaan
Barifola berkisar 1 minggu dengan besaran biaya membangun setiap unit rumah
sebesar 30-40 juta Rupiah.
Menariknya, setiap
kegiatan bari fola selalu mendorong upaya kerjasama antara Tim Bari Fola dengan
Anggota IKT dan masyarakat sekitar tempat Bari Fola dilaksanakan. Kaum
perempuan setempat membantu si pemilik rumah menyiapkan makanan “alakadar”
kepada orang-orang yang bekerja yang bersumber dari gerakan kotak calamoi
selama kegiatan. Seringkali ibu-ibu anggota IKT dari kelurahan lain memasak dan
mengantar makanan ke lokasi rumah yang sedang dibangun. Sementara kaum lelaki
setempat juga turut serta dalam pengerjaan pembangunan rumah.Tampak suasana
kegotongroyongan penuh kekeluargaan yang menggemberikan, membaur di dalam
setiap kegiatan BARI FOLA ini anggota Pimpinan/Pengurus dan anggota IKT bersama
warga setempat dalam tanpa membedakan status sosial maupun usia.
Modal
Sosial
Menurut Bourdieu[8]
modal sosial dilihat sebagai agregat sumber daya aktual dan potensial yang
terkait dengan kepemilikan jaringan yang dilembagakan atas dasar saling kenal dan pengakuan".
Modal sosial merupakan salah satu dari empat bentuk modal yang dijelaskan oleh
Bourdieu mencakup ekonomi, budaya, dan simbolik. Keempat modal yang tidak
merata dalam masyarakat dan berinteraksi untuk menentukan lintasan individu
dalam ruang sosial tertentu. Penggunaan individu terhadap modal sosial dapat
mengakibatkan perolehan bentuk lain dari modal, seperti peluang ekonomi atau
prestise budaya. Definisi ini jelas mengidentifikasi modal sosial sebagai konsep
interaksi berbasis hubungan sosial. Tidak seperti bentuk lain dari modal,
"Untuk memiliki modal sosial, seseorang harus berhubungan dengan orang
lain, bukan dirinya sendiri yang merupakan sumber sebenarnya dari keuntungannya"[9].
Masing-masing bidang sosial memiliki profil sendiri, tergantung pada pentingnya
proporsional di dalamnya dari masing-masing bentuk modal. Bentuk-bentuk modal
dikendalikan oleh berbagai agen yang mengalahkan dan menentukan peluang
memenangkan taruhan dalam permainan.
Modal sosial memiliki dua
komponen: jaringan sosial dan jumlah serta kualitas sumber daya yang tersedia dan disalurkan melalaui relasi jaringan[10].
Penelitian bencana yang menggunakan konseptualisasi modal sosial ini sering
berfokus pada bagaimana hubungan sosial mempengaruhi sumber daya dan dukungan
yang ditawarkan kepada korban bencana, atau bagaimana organisasi pelayanan
sosial darurat bekerja sama selama bencana.Putnam[11]
memandang konsep modal sosial adalah esensi sosiologis daya hidup komunal.
Sebuah solusi untuk tindakan mengatasi masalah bersama dan oportunisme dengan
mengandaikan pengembangan tindakan kolektif sukarela, dan terhubung ke modal
sosial yang diwariskan dalam masyarakat. Bentuk modal sosial adalah sumber umum
moral masyarakat, dan dapat dibagi menjadi tiga komponen utama: pertama, kepercayaan atau trust ; kedua, norma dan
kewajiban sosial; dan ketiga, jaringan
sosial aktivitas warga, terutama asosiasi sukarela. Lebih lanjut Putnam,
memandang modal sosial sebagai seperangkat hubungan yang horizontal (horizontal associations) antar orang.
Fukuyama merumuskan modal sosial dengan mengacu kepada “norma-norma
informal yang mendukung kerjasama antara individu dan kapabilitas yang muncul
dari prevalensi kepercayaan dalam suatu
masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari masyarakat.
Modal sosial lebih menekankan potensi kelompok dan pola-pola relasi
antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan menitik beratkan
pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir
dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok yang mengarahkan dan
menggerakan interaksi-interaksi antar orang dan memberikan kontribusi terhadap
pembangunan sosial dan ekonomi, ini
semua merupakan perekat dan penguat yang
menyatukan mereka secara bersama-sama. Semua hal tersebut menjadikan masyarakat lebih dari sekedar kumpulan
individu-individu.
Akhirnya modal sosial bisa
dikatakan sebagai property dari public good.
Social capital akan tumbuh dan
semakin berkembang kalau digunakan
secara bersama dan sebaliknya akan mengalami kemunduran atau penurunan
bahkan suatu kepunahan dan kematian
kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama.
Ketahanan
(Resilience)
Ketahanan sejak awal
digunakan di bidang psikologi dan psikiatri di tahun 1940-an, studi ini dimaksudkan
untuk menganalisis resiko atau efek negatif dari peristiwa kehidupan yang
merugikan anak-anak seperti perceraian,
stress traumatik[12]. Meskipun pada perkembangannya terjadi
perdebatan terkait penggunakan studi ketahanan dibidang apa, ada yang
mengatakan ketahanan digunakan dibidang ekologi setelah Holling merilis karya monumental yang berjudul “Resilience and Stability of Ecological
Systems”[13].
Terlepas dari dialektika terkait dengan awal mula studi ini digunakan yang
mengiringi perkembangannya, kenyataannya saat ini studi tentang ketahanan
digunakan disegala bidang dan khususnya bidang manajemen pengelolan bencana
mulai diterapkan setelah dideklarasi The
Hyogo Framework for Action 2005- 2015 atau dikenal dengan deklarasi Hyogo
pada 22 Januari 2005 oleh The United
Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction (UNISDR).
Secara etimologis Ketahanan
berasal dari kata latin resilio, yang
berarti 'melompat kembali'[14].
Secara umum Ketahanan didefinisikan
dalam dua cara pandang : sebagai hasil yang diinginkan atau sebagai suatu
proses menuju hasil yang diinginkan[15].
Jika ketahanan diartikan sebagai proses menuju suatu hasil maka defenisi
ketahanan adalah upaya peningkatan
perhatian yang ditujukan terhadap faktor apa yang mempengaruhi masyarakat untuk
melakukan apa yang terbaik dan dengan cara terbaik untuk memperkuat kapasitas
mereka (masyarakat)[16].
Namun, jika konsep ketahanan adalah untuk mengarah pada cara baru menanggulangi
bencana dan memberikan pilihan kebijakan, ada kebutuhan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terus mengaburkan konsep. Untuk meningkatkan
ketahanan perlu memiliki pemahaman awal yang baik terkait faktor penentu
ketahanan[17]
dan bagaimana hal itu dapat diukur, dipelihara dan ditingkatkan[18].
Pengertian
dan cakupan ketahanan
Seperti diuraikan diatas
bahwa untuk mengetahui ketahanan, yang harus diapahami awalnya adalah faktor
penentu ketahanan itu sendiri. Masyarakat merupakan entitas sosial melekat
tradisi yang dijalankan secara turun-temurun hingga saat ini dan itu merupakan
salah satu faktor penentu tumbuhnya daya tahan masyarakat itu sendiri. Artinya
konsep daya tahan dipandang sebagai komponen ketahanan seorang individu atau
masyarakat untuk mengatasi atau
beradaptasi dengan bencana. Kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana akan
sangat bergantung pada kapasitas mereka untuk bertahan. Dalam keadaan yang
kurang menguntungkan ini, konsep daya tahan juga menekankan pada kemampuan
sebuah “sistem” untuk kembali kepada keadaan semula sebelum bencana terjadi. Melihat
ketahanan bencana sebagai proses yang disengaja (mengarah ke hasil yang
diinginkan) terdiri dari serangkaian peristiwa, tindakan atau perubahan untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat saat berhadapan dengan guncangan lebih ditekankan
pada peran manusia dalam bencana.
Ketahanan adalah kemampuan
seorang individu atau organisasi untuk secepatnya merancang dan
mengimplementasikan perilaku adaptif positif dicocokkan dengan situasi yang ada[19]
dan juga ketahanan menunjukan kualitas dari Individu, kelompok, organisasi dan
sistem untuk merespon secara produktif keadaan yang tidak menguntungkan dengan
melakukan perubahan secara signifikan.[20]
Dimensi masyarakat tangguh
bencana
- 1. Rasa bermasyarakat (sense of community),
- 2. Kemampuan beradaptasi (coping ability),
- 3. Kapasitas individu (self-efficacy)
- 4. Dukungan sosial (social support).
Barifola;
Modal Sosial dan Instrumentasi Tangguh Bencana
Modal sosial digunakan
dalam banyak konteks adalah konsep sentral dalam sosiologi yang
mengidentifikasi bagaimana "keterlibatan dan partisipasi dalam kelompok
dapat memiliki konsekuensi positif bagi individu dan masyarakat". Dua
konseptualisasi yang berbeda dari modal sosial yang ada; satu adalah pendekatan
berbasis jaringan sosial dari tradisi akademik Bourdieu dan Lin, sedangkan yang
lainnya adalah norma-norma, kepercayaan, pendekatan berbasis warga negara atau
masyarakat oleh Putnam dan Fukuyama[21].
Penelitian empiris
mengenai modal sosial dalam bencana menyoroti proposisi oleh Bourdieu; jumlah
modal sosial dan jenis mempengaruhi kesempatan hidup. Banyak penelitian bencana
dapat dilihat melalui lensa modal sosial, seperti Quarantelli[22]
mencatat, '' modal sosial mungkin konsep yang sangat berguna untuk menangkap
satu jenis utama sumber daya yang dimiliki untuk terlibat dalam kegiatan
penanggulangan bencana".
Dalam bencana,
ketidaksetaraan dalam kepemilikan sumberdaya akan lebih bertambah buruk dengan kesulitan
akses terhadap modal sosial, ini berarti orang-orang dengan modal sosial yang
kurang atau lebih sedikit ikatan dengan individu lain dapat mengakibatkan
kesulitan penyediaan sumber daya yang diperlukan sehingga mengurangi ketahanan individu dalam menghadapi bencana.
Bari
Fola yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup organisasi
Ikatan Keluarga Tidore kota Ternate menggambarkan jaringan sosial yang tumbuh
atas dasar kesadaran akan norma yang berlaku berdasarkan semboyan “Limau Ma Dade Dade Ma Bara Jiko Se Doe”
(Persatuan, persaudaraan, dan semangat kekeluargaan) seperti yang diutarakan
putnam bahwa di sebuah komunitas, terkandung asas resiprokal (berbalasan) dan harapan (ekspektansi) tentang
tindakan-tindakan yang patut dilakukan secara
bersama-sama. Melalui peraturan-peraturan inilah setiap anggota
komunitas menata tindakannya.
Dengan modal semboyan “Limau
Ma Dade Dade Ma Bara Jiko Se Doe” IKT kota Ternate menjadi aktor utama
dalam menggerakkan resources yang
dimiliki anggota melalui jaringan
kolaboratif yang memfasilitasi interaksi dalam organisasi (misalnya, jaringan
inovasi) dengan peraturan yang dilembagakan untuk menumbuhkan rasa bermasyarakat
(sense of community ) setiap anggota melalui
upaya kerjasama (gotong royong) pada setiap kegiatan Barifola dengan
mengandalkan dukungan sosial (social
support) berupa gerakan calamoi dan infaq serta shodaqoh anggota lainnya.
Ikatan ini dapat menyediakan sumber daya yang bermanfaat bagi organisasi
individu dan menghasilkan manfaat kolektif untuk seluruh anggota Organisasi.
Sebagaimana dikatakan
Putnam, pemikiran dan teori tentang modal sosial memang didasarkan pada kenyataan bahwa “jaringan antara manusia”
adalah bagian terpenting dari sebuah
komunitas. Jaringan ini sama pentingnya dengan alat kerja (disebut juga
modal fisik atau physical capital) atau pendidikan (disebut juga human capital). Secara bersama-sama,
berbagai modal ini akan meningkatkan produktivitas
dan efektivitas tindakan bersama. Bari
Fola tidak hanya diartikan sebagai gerakan sosial yang dimotori IKT Kota
Ternate untuk membantu sesama namun Bari Fola juga menjadi perekat (social
glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai suatu kesatuan.
Kesatuan akan membentuk sebuah sistem yang mengarahkan tindakan kolektif untuk
mengatasi masalah kolektif. Dalam
keadaan tidak menguntungkan (bencana atau krisis) daya tahan individu dan
kelompok sangat ditentukan oleh bagaimana sebuah sistem dapat bekerja
mengembalikan keadaan seperti semula.
Bari Fola dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang dalam suatu komunitas. Sebuah
interaksi dapat terjadi dalam skala
individual maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi manakala relasi intim antara individu
terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan emosional. Secara institusional, interaksi
dapat lahir pada saat visi dan tujuan satu organisasi memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan
organisasi lainnya, yang juga dapat dikatakan akan memunculkan nilai-nilai dan norma-norma
bersama, bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut
menghasilkan kepercayaan (trust) yang
pada gilirannya memiliki nilai ekonomi
yang besar dan terukur[23].
Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan
untuk mengambil resiko dalam
hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain
akan melakukan sesuatu seperti yang
diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak.
yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya. Dalam pandangan Fukuyama[24]
trust didefinisikan sebagai “the expectation that arises within a
community of regular, honest, and
cooperative behavior, based on commonly share norms, on the part of
other members of that community”.
Bari Fola sebagai Modal
Sosial dan sebagai intrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana sangat penting bagi Individu
dan komunitas karena:
- 1. Menjadi media sharing resources atau pembagian sumberdaya dalam komunitas;
- 2. Mengembangkan solidaritas;
- 3. Memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas;
- 4. Memungkinkan pencapaian bersama; dan
- 5. Membentuk perilaku kebersamaan.
Bari Fola menghasilkan
rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggung jawab akan kemajuan bersama. Kebersamaan, solidaritas,
toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat.
Hilangnya modal sosial tersebut dapat
dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam, atau paling
tidak masalah-masalah kolektif akan
sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan
semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya
tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu masyarakat. Tanpa adanya
modal sosial, masyarakat sangat rentan
saat dilanda bencana.
Referensi;
Francis
Fukuyama. 1995, “Trust: The Social
capital and the Creation of Prosperity”
Gaillard,
Jean-Christophe. (2007). “Resilience of
traditional societies in facing natural hazards”. Disaster Prevention and
Management. Vol. 16 No. 4. pp. 522-544
IFRC
(International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) (2004) World
Disasters Report 2004: Focus on Community Resilience. IFRC, Geneva.
Kaplan,
H.B. (1999) ‘Toward an Understanding of
Resilience: A Critical Review of Definitions and Models’. In M.D. Glantz
and J.L Johnson (eds.) Resilience and Development. Kluwer Academic, New York,
NY. pp. 17–83.
Klein,
R.J.T, R.J. Nicholls and F. Thomalla (2003) ‘Resilience to natural hazards: How useful is this concept?’
Environmental Hazards. 5. pp. 35–45.
Kourosh
Eshghi, Richard C. Larson, (2008),"Disasters:
lessons from the past 105 years", Disaster Prevention and Management,
Vol. 17 Iss: 1 pp. 62 – 82
Martti
Siisiäinen, 2000. “Two Concepts of Social
Capital: Bourdieu vs. Putnam”. Paper presented at ISTR Fourth International
Conference "The Third Sector: For What and for Whom?" Trinity
College, Dublin, Ireland.
Michelle
Annette Meyer. (2013), “Social Capital
and Collective Efficacy for Disaster Resilience: Connect;ing Individuals with
Communities and Vulnerability with Resilience in Hurricane-Prone Communities in
Florida.”Disertation Doctor of Philosophy Department of Sociology, Colorado
State University Fort Collins.
Portes,
Alejandro. 1998. “Social Capital: Its
Origins and Applications in Modern Sociology.” Annual Review of Sociology
24(1): 1-24.
Quarantelli,
Enrico L. 2005. “A Social Science
Research Agenda for the Disasters of the 21st Century: Theoretical,
Methodological and Empirical Issues and Their Professional Implementation.”
Pp. 325–396 in What Is a Disaster: New Answers to Old Questions, edited by R.
Perry and E. Quarantelli. Philadelphia, PA XLibris Corp.
Siambabala,
Bernard Manyena. (2006) “The concept of
resilience revisited”. Disasters, 30(4): 433−450.
End Note
[1] Gaillard, Jean-Christophe. 2007;
522
[2] Kourosh Eshghi, Richard C. Larson,
(2008)
[4]
Secara arti harafiah Hapolas
berarti membayar tradisi ini sudah ada sejak lama, Hapolah “membayar” adalah
salah satu tradisi orang makian dimana tradisi ini dilakukan apabila ada salah
satu anggota masyarakat dari suku makian meninggal dunia. Untuk mengenang dan
mendoakan orang yang telah meninggal dunia, diadakan acara tahlilan selama
sembilan hari. Namun perlu diketahui juga bahwa tradisi seperti ini hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang beragama Islam saja. Praktik Hapolas yang dilakukan
sekarang berbeda denggan tradisi awal dimana bentuk bantuan awalnya berupa
barang untuk membantu keluarga yang melakukan hajatan, barang yang diberikan
berupa kebutuhan pokok sedangkan sekarang sudah menggunakan uang. Hapolas
dilakukan setelah tahlilan hari ke sembilan, kemudian diadakan kesepakatan
warung/toko sembako tempat mengambil segala macam kebutuhan selama hajatan
tidak dibatasi jumlahnya, setelah selesai hajatan perwakilan masyarakat terdiri
dari tokoh agama dan tokoh masyarakat membayar semua barang yang telah diambil
selama hajatan tahlilan berlangsung. (diolah
dari berbagai sumber)
[5] Diolah dari berbagai tulisan sofyan
Daud yang dipublish pada group Barifola di media sosial facebook
https://www.facebook.com/notes/bari-fola-aksi-sosial-bangun-rumah/mengenal-bari -fola/10150696562227940
https://www.facebook.com/notes/bari-fola-aksi-sosial-bangun-rumah/mengenal-bari -fola/10150696562227940
[6] “Om” adalah panggilan untuk
laki-laki lazimnya dalam bahasa Indonesia disebut “paman” sedangkan “Umar”
adalah nama orang
[7] Calamoi dalam bahasa Tidore berarti
Seribu, gerakan calamoi adalah sebuah aksi dalam bentuk pengumpulan uang
sebesar Rp. 1000 yang dilaksanakan saat pengajian dan arisan anggota IKT di
tingkat kelurahan serta dilaksanakan saat kegiatan Bari Fola berlangsung.
[8] Michelle Annette Meyer. 2013; 30-31
[9] Portes, 1998: 7
[10] Michelle Annette Meyer. Op Cit
hlm 31
[11] Martti Siisiäinen, 2000
[12] Siambabala, Bernard Manyena. 2006;
433-434
[13] Ibid
[14] Klein, Nicholls dan Thomalla, 2003
[15] Kaplan, 1999
[16] IFRC, 2004
[17] Klein et al., 1998
[19] Malak dalam Siambabala, Bernard
Manyena. 2006; 437
[20] Horne and Orr dalam Siambabala,
Bernard Manyena. 2006; 437
[21] Michelle Annette Meyer. Op Cit
hal 29
[24] Ibid
Tags:
Catatan Kuliah
3 komentar
Assalamu'alaikum. Artikel yang bagus. Syukran, memperkaya perspektif tentang Bari Fola
BalasHapusWaalaikum salam, Terima kasih Abang, saya hanya mencoba eksplorasi budaya leluhur saya..... dan tulisan ini juga mengutip karya Abang....
BalasHapusLuar biasa, terima kasih.....
BalasHapus