Mendahulukan si Miskin [catatan dari ngayogyakarto buat Maluku Utara]
“"Jika amanat
telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat
bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; "Jika
urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."
(Buhari– 6015)”
Kutipan
hadits diatas setidaknya bisa memberi kita langkah mitigasi dalam berdemokrasi, sejatinya dalam berdemokrasi bukan
berdasarkan like and dislike, Alim
(taat bergama), asal-usul kedaerahan (primordial), satu organisasi (primordial
gaya baru) atau yang lain. Hasil pemilukada menentukan nasib kita (daerah)
kedepan, karena yang kita pilih nantinya akan menjadi pemimpin kita, dimana
segala harap disandarkan, yang kita pilih nantinya akan menjadi pemimpin
birokrasi yang menjalankan roda pemerintah. Sehingga “keahlian dan ilmu” mutlak
adanya sebagai syarat utama, mengelola pemerintahan membutuhan keahlian dan
ilmu, bukan hanya dukungan suara terbanyak yang diraih dari proses pemilu, lantas
bisa menjamin roda pemerintah berjalan tanpa ada gejolak.
Saat
ini, lagi-lagi kita disuguhan “dagelan” dengan lakon politik anggaran dengan pemeran
utama Gubernur Maluku Utara. Kenapa saya katakan dagelan, karena sebagai
seorang pejabat publik, setiap kata yang diucapakan dan tindakan yang dilakukan
adalah sebuah kebijakan, rupa-rupanya sang gubernur tidak menyadari itu. Malah
menjalan roda pemerintahan dengan gurauan layaknya sebuah dagelan.
Sejak
dilantik sampai saat ini birokrasi pemprov Maluku Utara dibawah kendali AGK-Manthab tidak lepas dari
polemik. Polemik terakhir yang dihadapi AGK-Manthab terkait dengan politik
anggaran yakni rencana alokasi anggaran bagi Perguruan Tinggi di Maluku Utara
sebesar 100 M dan “mobilisasi” anggaran dalam APBD melalui kegiatan dan program
lebih diutamakan untuk kabupaten Halmahera Selatan.
Sarat muatan politik
Perdebatan
diruang publikpun tidak terelakan lagi, lagi-lagi menyeret dunia kampus. Namun
perdebatan yang terjadi lebih kental muatan politik bukannya perdebatan yang
kontruktif, sebab argumentasi yang disajikan lebih menekankan pada dimensi
ekonomi politik “siapa mendapatkan apa
dan bagaimana mendapatkannya. Tentunya perdebatan seperti ini akan bermuara
pada sakwa sangka, saling tuduh dan curiga dengan klaim pembenaran politik
balas jasa (politik tukar guling).
Polemik
terkait politik anggaran pemerintah propinsi Maluku Utara menarik untuk
didiskusikan dari perspektif ekonomi-publik lebih tepatnya anggaran publik (public budgeting). Karena Anggapan umum
yang berlaku selama ini memandang Anggaran publik adalah instrument utama
kebijakan keuangan pemerintah yang dipandang sebagai keberpihakan (prioritas) dan juga merupakan cerminan
dari peran (fungsi) pemerintah; alokatif, distributif stabilitas dan sustainibilitas
dalam perekonomian dan pembangunan demi tercapainya kesejahteraan bersama.
Bisa
dikatakan bahwa melalui anggaran pemerintah menjalankan fungsinya demi
terciptanya kesejahteraan bersama. Artinya semua kebijakan penganggaran harus
bermuara pada kesejahteraan dengan cara menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan
harapan mantra trickle down effect bekerja (development
growth). sehingga urgensi dari sebuah kebijakan penganggaran adalah
keberpihakan pada masyarakat dengan mengedepankan asas keadilan dan
proporsionalitas dalam tata kelola anggaran. Urgensi kebijakan adalah kunci dari setiap kebijakan anggaran publik,
bukan terletak pada besaran nominal dari alokasi anggaran bukan pula mobilisasi
dana yang bertumpu pada satu wilayah.
Diskursus
Fozzard
(2001) mengatakan bahwa permasalahan pokok yang selalu mengiringi penganggaran
yakni “apa
yang menjadi dasar (pijakan) bagi alokasi sumber daya, termasuk anggaran”?. Permasalahan ini yang seharusnya menjadi concern diskursus terkait polemik
politik anggaran. Secara ekplisit keresahan dari fozzard bila dipadatkan dalam satu kata yaitu
“Urgensi”. Dasar pijakan dari suatu kebijakan adalah bagaimana tingkat urgensi
dari sebuah kebijakan dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan utama. Jika diskursus
yang berlangsung dibingkai dengan frame political
economy maka setiap argumentasi yang disajikan sarat dengan interest. Tentunya perdebatan seperti
ini akan menjadi menjadi residu yang setiap saat bisa melemahkan pegawasan kita
terhadap kinerja pemerintah daerah.
Urgensi
kebijakan peganggaran bertolak dari pendapat bahwa sejauh mana kebijakan
tersebut mampu menjawab (mengatasi) persoalan utama (public affair) yang dialami suatu daerah. Kuncinya adalah urgensi
sebuah kebijakan sangat ditentukan kemampuan kebijakan tersebut untuk menjawab
persoalan utama. Nah bisa kita simpulkan urgensi kebijakan erat kaitannya
dengan permasalahan utama.
Permasalahan Utama
Muncul
pertanyaan kemudian, sebenarnya apa yang menjadi permasalahan utama masyarakat
Maluku Utara saat ini? Sehingga membuat gubernur menjalankan strategi politik anggaran
seperti itu. Apakah pendidikan tinggi menjadi permasalahan utama dibidang
pendidikan di Maluku Utara atau bukan? Apakah Kabupaten Hal-Sel layak
diprioritaskan dibanding dengan Kab/Kota lainnya di Maluku Utara? Sebagai
sebuah gebrakan dengan menggunakan asumsi “big
push theory”. Untuk menjawab pertayaan tersebut seharusnya data dijadikan
sebagai pijakan kebijakan anggaran dalam menentukan urgensi (prioritas)
kebijakan pemeritah AGK-Manthab. Ataukah justru sebaliknya data yang menjadi
permasalahan utama dalam menentukan urgensi (prioritas) sebuah kebijakan?.
Dalam
kajian kebijakan publik saat ini trend kebijakan mengarah pada kebijakan yang
berbasis evidence, dimana data yang
memegang peranan penting dalam melahirkan sebuah kebijakan berbasis evidence.
Kebijakan publik lahir dari dialektika realitas dan harapan publik namun perlu
diingat bahwa kebijakan publik bukanlah aspirin
yang bisa mengobati segalanya dan setiap kebijakan akan membuat ada pihak yang
terekslusi mulai dari agenda setting sampai proses
implementasi kebijakan.
Kenapa
tanpa memperhatikan data dan realitas yang ada gubernur berencana mengalokasikan
dana sebesar 100 M untuk Perguruan Tinggi di Maluku Utara dan memobilasasi dana
(melalui program dan kegiatan) ke Kabupaten Hal-Sel dan pada tahun anggaran
2015? mengapa gubernur begitu berpihak pada satu sub sektor dan satu daerah
sementara yang lainya begitu “pelit” (hati-hati)?
Jika
kita meminjam analisis yang digunakan Amenta
dan Carruthers dalam konteks polemik terkait politik anggaran, setidaknya
ada tiga logika yang bisa digunakan untuk menjelaskan pertanyaan diatas, pertama dengan menggunakan logika ekonomi, pandangan ini mirip
dengan logika hukum Wagner (The
increasing of state activity) menyatakan
bahwa perkembangan sosial-ekonomi dan teknologi memaksa peranan
pemerintah dalam bidang pereonomian cendrung meningkat mengikuti perkembangan,
karena perkembangan sosial-ekonomi dan teknologi menciptakan masalah-masalah
sosial diantaranya adalah kesenjangan wilayah (Bradshaw, 2005), dan Kemiskinan yang
harus segera diatasi oleh pemerintah. Pertanyaannya
apa Kab Halmahera Selatan mengalami kesenjangan yang begitu lebar baik dari
segi infrastruktur maupun penghasilan dibandingkan dengan kab/kota lainnya di
Maluku Utara? Lagi-lagi data yang bisa menjawab itu.
Kedua logika politik. Menjelaskan bahwa mobilisasi dana sebagai hasil dari institusi-institusi
politik dan partisipasi politik dari kompetisi pilitik yang telah berlangsung,
karenanya mobilisasi dana bukanlah hasil dari keberpihakan (prioritas)
pemerintah untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi melainkan sebagai pegaruh
proses-proses politik yang telah berlangsung. Politik disini memiliki dua makna
yaitu politik pemilu (electoral politic)
dan politik sebagai gerakan-gerakan sosial. Jika kita menggunakan logika ini
patut dicurigai langkah yang nantinya ditempuh adalah balas jasa dari hasil
pemilukada atau politik tukar guling.
Ketiga
logika peran gubernur.
Logika ini memandang gubernur bukanlah aktor yang pasif dari sebuah institusi pemerintah,
bukan juga “alat” dari institusi politik dan kelompok masyarakat, sebaliknya
gubernur juga memiliki otonomi dan kepentingan sendiri. Oleh karena itu
asal-usul kebijakan mobilisasi dana bisa ditelusuri dari kepentingan, asal usul
dan kapasitas gubernur. Logika ini menekankan pada peran gubernur yang bersifat
langsung yaitu kapasitas penguasa daerah (kuasa pegguna anggaran dan kapasitas
birokrasi) dalam menyediakan dana dan berbagai program dan kegiatan dengan
menggerakkan birokrasi agar bekerja sesuai dengan kepentingan gubernur sebagai aktor
yang memiliki otonomi dan kepentingan sendiri. Lantas sebenarnya apa
kepentingan terselubung dari kebijakan tersebut?
Manfaat untuk masyarakat dengan mendahuluan si miskin
Dalam
era desentralisasi dan demokratisasi saat ini, politik anggaran yang dimainkan
oleh eksekutif yang memiliki mandat untuk mengeksekusi setiap kebijakan bisa ditrack
dan dipantau oleh publik, jika kebijakan anggaran dilandasi untuk
kepentingan rakyat/masyarakat dan dialokasikan dengan tepat maka akan menjadi
penentu atas kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat/masyarakat. Kata kuncinya
memang untuk masyarakat, dari setiap kebijakan yang dihasilkan yang mana yang
bermanfaat bagi masyarakat secara konkret, itulah yang seharusnya menjadi
urgensi (skala prioritas) kebijakan anggaran. Tidak mudah memang
mendefnisikannya dengan keterbatasan sumber daya, baik finansil maupun
institusional, pemerintah AGK-Manthab harus mampu membuat skala prioritas. Jika
ukurannya manfaat untuk maka kebijakan yang dihasilkan seharusnya lebih
mendahulukan masyarakat (miskin) dan langsung bersentuhan dengan kebutuhan
dasar masyarakat (miskin).
Dalam
konteks demikian maka anggaran pro poor
bisa dijadikan alternatif pengganggaran dalam pemerintah propinsi Maluku Utara
karena anggaran pro poor identik
dengan anggaran yang demokratis dan merupakan bentuk tindakan afirmatif dalam
pengarusutamaan kemiskinan (poverty
mainstreaming) dalam kebijakan pembangunan (Antonio Pradjasto Hardojo dkk,
2008). Anggaran pro poor adalah sebuah
instrument kebijakan ekonomi-publik
melalui fungsi alokasi distribusi, stabilisasi dan keberlanjutan yang
responsif kepada rakyat miskin. Anggaran
pro poor menganjurkan negara/daerah bertindak secara responsif
melakukan alokasi distribusi kepada rakyat miskin. Alokasi distribusi dalam
bentuk menyediakan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, air
bersih) dan memberikan insentif ekonomi pada proses produksi ekonomi untuk
orang miskin.
Sudah
saatnya setiap kebijakan yang dihasilkan idealnya mendahulukan kepentingan si
miskin, memenuhi kebutuhan si miskin, bukankah si miskin adalah pemegang mandat
sesungguhnya. Kalau bukan sekarang kapan lagi....!!!!!!
Tags:
Catatan Pinggir
0 komentar