LURAH; Pemimpin tanpa ”Kuasa”
Setelah membaca tulisan Syahroni
A Hirto di kolom opini Malut Post edisi 20 November 2014 tentang “SKPD
Kelurahan; catatan peningkatan status kelurahan menjadi SKPD”. Keresahan dalam
bentuk kritik yang disuarakan, membuat saya bertanya-tanya apa kritik itu lahir
dari sebuah proses menelaah isu dengan cara kontekstualisasi studi pustaka atau
kritik yang dituangkan (diambil) dari web sebelah (sila kunjungi http://karenglor.kelurahan.probolinggokota.go.id/?p=229
dan lihat tulisan dengan judul “Kelurahan
Jadi SKPD…? Why not?”) yang mengulas
keresahan yang sama, ataukah ini semacam upaya prakondisi menyambut hajatan
pilwali tahun depan? Karena diakhir tulisan menyinggung hal itu (sebagai kado diakhir masa jabatan).
Ada dua keresahan yang
diungkapkan yakni: 1). Legalitas dan 2). Sinkronisasi tata kelola anggaran dan
perencanaan. Untuk keresahan pertama
dengan sendirinya telah dijawab dengan mengutip beberapa aturan
perundang-undangan dan derivasinya, kemudian diperkuat dengan menunjukan
praktek serupa sudah diterapkan di beberapa daerah lain sejak tahun 2012,
informasi terbaru terbaru pada tahun 2015 semua
kelurahan di Kota Bandung akan berubah menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), tak terkecuali Kelurahan Rancanumpang Gedebage Kota Bandung. Sebaliknya
rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menjadikan kelurahan sebagai Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada tahun 2015 mendapat kritikan dari anggota
DPRD Surabaya.
Keresahan kedua tata kelola keuangan. Mengingat
kelurahan statusnya diubah menjadi SKPD maka tata kelola keuangan disesuaikan
dengan SKPD tentunya. Sejak era reformasi ada upaya revolusioner yang dilakukan
terkait dengan perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju Double entry, bergesernya fungsi ordonancing dari Badan atau Bagian Keuangan ke setiap Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) dan SKPD
sebagai accounting entity berkewajiban
untuk membuat laporan keuangan SKPD .
Beberapa hasil penelitian menunjukkan penyajian pelaporan keuangan daerah belum
dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah maupun di jajaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Daerah terutama neraca.
Jadi yang diperlu
dikuatirkan adalah apakah sumber daya manusia di kelurahan telah siap atau
tidak dan bagaimana pertanggung jawaban pengelolaan keuangan. Bukan pada aspek
legalitas ataupun sinkronisasi perencanaan dan penganggaran.
Hambatan
Permasalahan klasik yang
selalu dihadapi kelurahan sebagai garda depan perangkat daerah, sedari dulu
sampai saat ini yang tak kunjung terselesaikan dan selalu berkutat dikarenakan
mind set yang berkembang selama ini bahwa pegawai yang dipekerjakan di
kelurahan adalah orang-orang buangan sehingga berimbas pada ketersediaan sumber
daya manusia, berimplikasi pada penempatan Lurah tidak sesuai dengan pangkat dan
jabatan yang sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Kemudian masalah teknis misalnya
bangunan kantor dan kelengkapan penunjang lainya. Hambatan-hambatan ini yang
harus diselessaikan pemerintah Kota Ternate sebelum berwacana mengubah status kelurahan
menjadi SKPD.
Misi Suci
Dibentuknya sebuah
pemerintah pada prinsipnya bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan
rakyat. Demi tercapainya tujuan tersebut,
pemerintah memiliki tugas yang sangat krusial yang mempunyai empat fungsi utama
yaitu alokatif, distributif, stabilisasi, dan sustainabilitas (keberlanjutan).
Berdasarkan fungsi itu, pemerintah sebagai provider layanan publik harus mengedepankan kepentingan
masyarakat dan berupaya untuk memberdayakan masyarakat dalam setiap kebijakan
yang dihasilkan.
Dengan demikian instansi
pemerintah yang secara struktural diatas kelurahan memiliki kewajiban melakukan
pembinaan atas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kepada pemerintahan
kelurahan. Sebagai upaya untuk menumbuhkan inovasi dan kreatifitas agar upaya-upaya
percepatan atau akselerasi pembangunan kelurahan seperti penanggulangan
kemiskinan, penanganan bencana, peningkatan ekonomi masyarakat, peningkatan
prasarana perkotaan, pemanfaatan sumber daya dan teknologi tepat guna dan
pengembangan sosial budaya pada skala kota.
Sehingga perubahan status kelurahan
menjadi SKPD harus dilandasi dengan misi
suci yakni semata-mata untuk
mensejahterakan masyarakat dilingkup kelurahan. Bukan karena niatan lain..
Alternatif solusi
Dalam
undang-undang yang terkait menyebutkan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja
lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota di bawah kecamatan. Jika ditelisik lebih mendalam akan bermuara
pada kesimpulan bahwa kecamatan dan kelurahan adalah wilayah kerja atau bisa
juga mengandung kesimpulan bahwa kelurahan sebagai bentuk local government pada
level pemerintah daerah (kab/kota). Kelurahan lebih merepresetasi kepentingan
pemerintah daerah ketimbang kepentingan masyarakat. Beban penanganan masalah
kemasyarakatan bukan pada kelurahan, melainkan merupakan beban kepala kelurahan
atau lurah. Konstruksi relasi kuasa seperti ini mengingatkan kita pada “kewenangan atributif” yang dimiliki
Gubernur, Bupati, Walikota dan Camat. Kewenangan yang melekat pada pejabat dan
bukan organisasi pemerintahan. Kewenangan yang bersumber dari delegasi
kekuasaan dari level yang paling atas kejejang berikutnya mana sampai pada
level pemerintahan di bawahnya.
Pada
konteks seperti ini pemerintah kota Ternate tidak perlu tergesa-gesa mengubah
status kelurahan tanpa disertai riset tentang kesiapan kelurahan secara
organisasi dan ketersediaan dana yang dialokasikan untuk kelurahan sebagai
SKPD. Apalagi ada kesan yang muncul pemerintah “lepas tanggung jawab” terhadap
masyarakat diluar pulau Ternate dengan mengalihkan status dari kelurahan
menjadi desa meskipun secara kostitusional belum ada aturan yang mengatur hal
itu. Ini adalah bukti bahwa secara keuangan pemerintah kota Ternate tidak mampu
membiayai pengadaan public goods yang
semestinya ini menjadi tanggung jawabya.
Pelimpahan
sebagian urusan merupakan solusi cerdas dan tepat untuk diterapkan saat ini dibadingkan
dengan mengubah status menjadi SKPD akan membutuhan kajian yang medalam dan
persiapan yang matang sebelum diterapkan. Namun harus diingat pelimpahan
sebagian urusan harus disertai dengan prinsip “money folow function”. Dengan
pelimpahan sebagian urusan yag disertai dengan kewenagan memungkinkan lurah
bekerja lebih terarah, lebih efektif, dan lebih “mengurus”. Lurah dapat
bertindak sebagai perangkat daerah yang memutuskan masalah-masalah masyarakat
sekaligus sebagai orang yang bertindak atas nama Walikota dalam urusan-urusan
tertentu.
Apapun
itu, sudah saatnya Lurah dan perangkatnya harus diberdayakan. Mendudukan lurah
tanpa melimpahkan sebagaian urusan atau menjadikan organisasinya sebagai satuan
kerja perangkat daerah sama saja dengan menjadikannya “pemimpin boneka”.
Pemerintah kota Ternate sudah saatnya melakukan itu dan memilih apakah
menetapkan kelurahan sebagai SKPD atau melimpahan sebagian urusan pada
kelurahan. Jika tidak memilih salah satu atau menetapkan keduanya, mungkin sebaiknya
kelurahan dihapuskan saja....
Tags:
Catatan Pinggir
0 komentar