DEMOCRACY

“Terpenuhinya hak-hak publik adalah esensi dari demokrasi itu sendiri”
(Zara Sulaiman, 2016)

Kekecawaan terhadap demokrasi (output dan outcome) mewabah hampir seluruh lapisan masyarakat. Demokrasi menghadirkan surplus politisi tetapi deficit negarawan.  Tak terkecuali pemilukada sebagai implementasi dari demokrasi procedural ditingkat lokal, pemilukada tak ubahnya perebutan “kekuasaan” para elit daerah yang berkostum etnisitas. Memang tak salah bila bordieau mengatakan bahwa kontestasi politik daerah adalah etnisitas. Saya sangat memaklumi dan termasuk yang membenarkan tesis bordieou tersebut, jika dilihat dari praktek yang berlangsung selama ini. pemilukada tak ubahnya pemilihan kepala suku.
Mengingat keadaan ini, tak salah bila masyarakat apatis terhadap pelaksanaan demokrasi baik pada aras nasional maupun pada aras lokal. Bagi saya pemilukada sebagai instrument yang disediakan untuk mengakomodasi dan memoderasi kepentingan publik tidak akan pernah beranjak dari apatisme masyarakat, bila berkaca pada dampak dari pilihan untuk berdemokrasi secara procedural, bisa dilihat dari gagalnya tata kelola pemerintahan di daerah, rendahnya serapan anggaran yang berimplikasi pada minimnya penyediaan layanan bagi publik, besarnya belanja hibah sebagai bagian dari balas jasa pasca pemilukada.
Terpenuhinya hak-hak publik adalah esensi dari demokrasi itu sendiri. Jangan pernah mau  melaksanakan demokrasi, bila demokrasi justru menjadi akar penyebab dari keterpurukan ekonomi pada lembaga maupun individu. Kenapa saya tekan seperti itu, karena hanya demokrasi saat ini yang menjadi pilihan utama dalam bernegara dan menjadi maindstream dalam bernegara.
Namun demokrasi yang menjadi pilihan kita lebih berorientasi pada procedural yang dipraktekkan selama ini dengan mengabaikan aspek kapabilitas dan integritas sebagai prasayarat utama. Sebaliknya lebih praktek demokrasi saat ini lebih menekankan pada keuntungan material belaka Pendekatan untung-rugi menjadi tolok ukur dalam menentukan dukungan. Tak masalah jika kandidat yang diusung terindikasi bermasalah dengan hukum, tidak dibenarkan juga mengusung kandidat yang peluang menang sangat tipis meskipun secara kualitas memiliki kapabilitas dan integritas dalam memimpin. Politic of number  menjadi tameng yang setiap saat bisa menjadi alat justifikasi dalam pengambilan keputusan.
Jika masih demikian jangan pernah berharap lebih terhadap demokrasi yang mampu memperbaiki dan menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat. Bila elektabilitas (political of number) lebih dimaknai sebagai angka-angka yang lahir dari proses “ilmiah” tetapi sejatinya sangat jauh dari praktik bebas nilai, karena pada prakteknya elektabiltas tak mampu memisahkan yang aktual dari yang ideal, yang nyata dari yang diharapkan. Alhasil demokrasi prosedural melahirkan kepemimpinan transaksional yang didominasi nafsu purba Laswellian: “who gets what, when, and how.” Bukannya melahirkan kepemimpinan transformasional yang berciri idealized influence, intellectual stimulation dan individualized consideration. Pemimpin yang lahir dari demokrasi procedural, sebagian besar bermasalah dengan etika dan moral serta tidak mampu menggerakkan birokrasi dalam melayani masyarakat. Sengkarutnya tata kelola pemerintahan provinsi Maluku Utara bisa dijadikan contoh.
Bila kita meminjam konsep virtù dan fortuna yang diperkenalkan oleh Machiavelli untuk memastikan sirkulasi elit daerah dalam konteks demokrasi procedural. Konsep virtù dan fortuna yang bertumpu pada peran individu selaku aktor mandiri yang memiliki, menciptakan dan memanfaatkan sumberdaya politik untuk mencapai tujuan, setidaknya akan memberi harapan bagi publik dalam berdemokrasi untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan hak-hak mereka (publik). Konsep Virtù terdiri atas kecerdasan, reputasi, ketelitian, keberanian strategis dan taktis, serta dukungan masyarakat. Sementara fortuna adalah kans atau keberuntungan dalam pengertian kondisi-kondisi alamiah dan sosial serta kejadian-kejadian yang dihadapi penguasa atau calon penguasa tanpa implikasi keharusan atau nasib (Liddle, 2011: 27).
Di akomodirnya calon independen dalam demokrasi prosedural setidaknya menjadi jalan tengah, ditengah kemerosotan peran partai politik dalam menyediakan stok kepemimpinan dalam berbagai level pemerintahan dan bisa juga dimaknai sebagai penerapan konsep virtù dan fortuna dalam praktek demokrasi procedural. Untuk itu tak perlu kita hiraukan apa yang dihujat oleh oleh Marx dan pengikutnya terhadap demokrasi dengan menyatakan “untuk membuang sang bayi, demokrasi, bersama bak mandinya, kapitalisme, sekalian”. Tidak perlu juga kita terjebak pada pemikiran Marx dan pengikutnya dengan mentalisme manja dan genit yang meraung-raung menangisi residu kapitalisme pasar yang menciptakan kepincangan dalam medan pertarungan demokrasi yang menghambat sirkulasi elit didaerah.
Kondisi demokrasi saat ini menjadi grey area persinggungan antara moralitas pribadi dan moralitas politik tak terhindarkan. Terbukanya keran calon independen merupakan bukti tingginya tensi antara moralitas pribadi dan moralitas politik. Tetapi dengan diakomodirnya calon independen dalam pemilukada menjadi ujian bagi demokrasi sendiri, dimana demokrasi demokrasi memandang semua orang memiliki keunikan tersendiri, tapi demokrasi juga memandang bahwa semuanya setara (McClosky dan Zaller, 1984).
Apapun keadaan demokrasi saat ini yang sudah kita pilih sebagai sistem yang menjamin sirkulasi kepemimpinan di daerah, tujuan utama adalah melahirkan pemimpin yang mampu menciptakan kohesi kebangsaan yang kuat ditengah semakin menguatnya etnisitas, kedaerahan serta pribumi. Melahirkan pemimpin berwatak penjual sekaligus pembeli harapan ini sejalan dengan petuah Napoleon Bonaparte “A leader is a dealer in hope”. Pemimpin yang memiliki kemampuan teknokrasi mumpuni ditengah resitensi ditubuh birokrasi dan tarik menarik kepentingan politik dan tuntutan publik.
Akhir kata praktek demokrasi bagaimanapun, perlu ditata lebih rapi untuk mengimbangi tuntutan-tuntutan publik yang terus bergerak dengan tetap mengedepankan prasayarat utama yang menjamin adanya sirkulasi elit didaerah yakni virtù dan fortuna. Jika tidak, demokrasi tak lebih dari alat hegemoni elit untuk melanggengkan kekuasaan dengan mengabaikan kepentingan publik.

Share:

0 komentar