Aku Menjadi Tahu...


Nonton TV
         Memulai hari ini… aku menjadi tahu, terlalu banyak hal yang perlu direnungkan, dilakukan dan hendak diperbaiki. Semestinya ku harus berkawan dengan orang yang merasa keadaan ini perlu di robah dan dalam hal-hal tertentu memang penting.

Pagi ini sebelum kekampus menunaikakan tugas sambil ditemani secangkir teh panas menjalani “ritual” pagi hari menonton berita agar tidak ketingalalan informasi. Berbagai berita disajikan pagi itu ada yang berisi kisah sedih seorang mantan model yang menjadi putri dinegeri seberang, kening ini berkerut berpikir dan berharap mudah-mudahan rakyat Indonesia bisa lebih dewasa dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan ini.
Masalah pribadi jangan dijadikan masalah Negara sehingga akan memancing reaksi anti Malaysia yang sempat dikobarkan sang Proklamator dengan Jargon “Ganyang Malaysia”, ada juga berita tentang pengeboman hotel JW Marriot jilid II oleh sekumpulan manusia yang menamakan diri Jamaah Islamiyah tapi yang paling menarik perhatian adalah berita tentang pemilu presiden. Rekapitulasi jumlah suara telah selesai di hitung  secara nasional dengan hasi l pasangan nomor urut 2  (SBY-Budiono)  peraih suara terbanyak. Tetapi dengan alasan “demokrasi”  2 kandidat lain (Mega-Pro dan JK-Win) tidak setuju dengan hasil yang ditetapkan oleh KPU karena mereka manganggap ada keberpihakan dari KPU dan kecurangn dilakukan secara Masif dan sistematis mulai dari kekisruhan DPT sampai pada setiap Aparatur pemerintah di daerah tidak Netral. Perlu kita apresiasi langkah yang diambil oleh 2 kandidat ini (Mega-Pro dan JK-Win) dengan menempuh jalur hukum. Saya berpikir seandaianya mereka (2 kandidat) menggunakan cara pengerahan masa untuk memprotes hasil pilpres kali ini maka tidak bisa saya bayangkan Indonesia bisa menjadi “Iran” ke 2, akan terjadi chaos di tataran pendukungnya.

Bertubi dan menyentuh dasar muasal adanya makhluk bernama manusia. Meski ini sulit, tentu saja tetap harus diperkarakan, lantaran untuk bergerak, semua orang membutuhkan klausul pasti. Setidaknya, semua langkah mesti ada alasan kuatnya. Tak lebih dan tak kurang, semacam menyusun prasangka tentang dedikasi dan mungkin, perjuangan.

Teringat kemarin, sekumpulan mahasiswi memasuki gerbang kampus dengan beragam model fashion berjalan menuju kelas… Bagi saya, mereka mungkin berpikir, lantai kampus diibaratkan catwalk yang menjadi tempat untuk peragaan busana bukannya tempat para calon intelektual muda dalam menuntut ilmu dan beraktualisasi diri. Jadi, andai suatu saat negeri ini penuh dengan generasi muda yang lebih mementingkan fashion daripada isi otak maka negeri ini tinggal menunggu waktu menuju kehancuran.

Bagi saya semua itu tak mengherankan karena Mereka hidup ditengah arus globalisasi yang mengikis idealis seorang yang nota bene adalah agent of change. Dapat dimengerti bila kemudian, ia termasuk kelompok orang yang sangat individualistis dan  ber”topeng” padahal mereka seharusnya banyak menganalisis sesuatu dan cenderung berhati-hati dalam melakukan sesuatu, bahkan mereka juga mengulas kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul akibat perbuatan mereka

Ini bukan Semacam, naluri skeptis yang selalu meragukan sesuatu. Bukan paranoid, hanya berkeinginan mencari analisis yang paling tepat dan memiliki kemaslahatan paling luas. Bayangkan, umumnya untuk menjelaskan realitas saja seseorang sudah sangat kesulitan, apalagi harus memprediksikan situasi, bahkan mengagendakan perjuangan.

Kemarin, seorang sahabat politikusku mendesah kuat, bahwa politik sangatlah berat. Baginya, ia memang tengah beradaptasi dengan carut marut kondisi daerah ini pasca Pilgub karena calon gubernur yang diusung kalah disebabkan oleh “finansial”, dengan kemampuannya yang mungkin tak terlalu kuat. Katanya dia harus lebih kalkulatif tidak spekulatif lagi dalam mendukung setiap kandidat yang akan bertarung pada pemilihan Walikota Ternate tahun depan. Bagiku, ia tampak bersemangat lebih, dan mengajariku untuk seperti itu, meski semua yang akan ia lakukan jelas belum tentu berhasil. 
 
Meski fenomena ini menarik diamati secara psikologis dan sosiologis, karena para pendukung (Tim Sukses) benar-benar all out dalam memberikan dukungannya, tetapi dengan memakai pendekatan political economy fenomena ini jadi relevan dengan kampanye pemilu dan demokrasi kita di Indonesia dan menarik untuk dianalisis. Pendekatan political economy ini biasa mendasarkan pada pertanyaan: who gets what, and why (siapa mendapat apa, dan mengapa)?
 
Di sini terlihat, dalam demokrasi, konstruk hubungan tim sukses dan partai politik bergerak dua arah.. Dalam hubungan dua arah ini pasti ada karakter kalkulatif, apalagi transaksional. Komitmen jelas pekerjaan rumit. Namun, beranggapan bahwa semua hal adalah tak mungkin tentu itu logika kaum pesimis yang seperti tak berkesempatan membangun dunia baru. Rumit hanya kriteria pendukung keutuhan peran, bukan harga mati realitas.

BERAKRAB dengan desahanku yang terakhir, aku menjadi tahu, hidupku semakin tidak aku pahami. Setiap saat aku kebingungan, tapi aku nyaman dengannya. Karena, aku pasti akan cepat berserah diri. Inginku, aku selalu siap mati. Kalau aku semakin kalkulatif, takutnya aku menjadi cepat lupa diri. Bila aku selalu nihil, justru aku akan merasa selalu ingin dekat dengan Tuhan.

MERASAKAN tatapanku kini, aku menjadi tahu, banyaknya hal yang hendak aku pertanggungjawabkan justru semakin mendekatkanku pada Tuhan. Sebab, sejauh yang aku bisa, sejauh itu pula keberserahanku pada-Nya. Aku menjadi tenteram. Aku menjadi semakin bersemangat, meski tak ada lagi yang bisa aku garansikan... untuk apa pun

Catatan Pinggir 2009,


Abu Al-Qalby     

Share:

0 komentar