Esensi Kemerdekaan




“Orang yang merdeka adalah orang yang berdiri diatas kaki sendiri dan bisa berjalan dengan kepala tegak bukan berlindung dibalik kelemahan sebuah sistem yang mengatur dan selalu berada dalam bayang-bayang kekayaan/ pengaruh keluarga. Orang yang merdeka adalah orang yang mempunyai visi hidup kedepan serta senantiasa mempunyai paradigma baru dalam memandang setiap masalah (Adzraa Ulima Nabigha: 2003)”
Gelora semangat peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia bagai gelombang resonansi yang menggetarkan seluruh negeri. Spirit perjuangan pun berkolaborasi dengan jiwa nasionalisme yang justru menelusup ke jantung merah anak bangsa. Momen peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus memang memiliki makna yang dalam bagi keutuhan negara yang terdiri dari kepulauan ini. Terlebih lagi di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kita mulai diusik dengan munculnya celah-celah disintegrasi yang justru dijadikan virus menghancurkan.
Akhirnya negara kesatuan pun adalah sebuah 'harga mati' yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Secara definisi, kemerdekaan suatu bangsa adalah pernyataan kesanggupan untuk berdiri sendiri mengatur segala macam urusan yang menyangkut kepentingan bersama. Kemerdekaan juga berarti kesanggupan untuk saling berbagi menerima perbedaan latar belakang dan pendapat sebagai rahmat (Said Tuhuleley, Gerbang: 2005) Memaknai kemerdekaan perlu pemikiran yang cukup luas. Merdeka sebagai sebuah negara, merdeka mengatur kehidupan; negara, masyarakat bahkan diri sendiri. Dan yang terlebih penting merdeka dalam menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemerdekaan secara totalitas baru dapat terisi secara maknawi jika semua orang mampu membangun dirinya menjadi orang-orang yang berjiwa merdeka yang teguh pada pendirian, memiliki integritas hidup, membuka diri bagi perbedaan orang lain. Dengan kalimat yang lebih lugas, orang-orang yang berjiwa merdeka; mereka berani menyatakan pendiriannya secara santun, bermartabat dan jauh dari kesan pemaksaan kehendak serta memahami hidup bukan sekedar ada tetapi “mengada”, hidup bukan hanya sekedar menjadi penghuni bumi tetapi hidup untuk kehidupan generasi selanjutnya.
Persoalannya yang sebenarnya kurang kita sadari adalah kekurangcermatan mengartikan momen hari proklamasi kemerdekaan kita ke dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Kenyataan justru memperlihatkan sebagian kita kerap berlaku setengah-setengah atau enggan berbuat secara totalitas. Kita sadar memiliki kekuatan tetapi kekuatan itu justru menjadi lemah ketika kita terhambat oleh peraturan dan kebijakan. Kita sadar memiliki potensi yang cukup produktif namun keproduktifan itu berujung pada kemandulan yang disebabkan faktor keterbatasan-keterbatasan, keberanian dan kesungguhan. Kebanyakan dari kita takut untuk melangkah mencoba hal-hal baru, berinovasi padahal kit sadar kita memiliki segalanya.
Kita sadar berhak menentukan cara yang terbaik bagi hidup kita namun sesungguhnya kita masih merasa dalam lingkaran belenggu. Atau sering kita terjebak pada lingkaran setan yang disebabkan menipu diri sendiri ( politicking ) serta menjadi penganut budaya permisif . Dalam aspek kehidupan, sadar tidak sadar kita sudah terseret pada alam yang jauh dari kemerdekaan. Terjajah sistem dan pola pikir yang keliru dan stagnan. Banyak indikasi yang menunjukkan keterjajahan itu, antara lain birokrasi yang terlalu panjang, peraturan-peraturan yang mempersulit dan kurang berpihak serta kemiskinan yang semakin parah.
Dengan kata lain, fisik dan mental kita belum merdeka secara totalitas pula. Padahal untuk mempertahankan kemerdekaan negeri ini diperlukan dukungan dari orang-orang yang berjiwa merdeka. Oleh sebab itu yang terpenting ke depan adalah membangun manusia-manusia yang berjiwa raga mereka seperti harapan yang terimplikasi dalam lagu kebangsaan; bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.
Pembangunan manusia-manusia yang penuh percaya diri sebagai insan merdeka yang santun, bermartabat dan tentunya berakhlak mulia  perlu digalakkan sekaligus dilestarikan. Dalam kaitan ini lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sangat berperan. Kita juga memang memerlukan manusia-manusia yang sadar akan kemanusiaannya dan kemanusiaan orang lain. Sebaliknya kita tentu tidak membutuhkan manusia-manusia yang berwatak imperialis, hipokrit atau bermental penjajah dengan mengandalkan power yang dimilikinya.
Pemaksaan kehendak justru akan menguburkan kemerdekaan jiwa raga. Kita dapat mengambil contoh, sekolah. Sekolah dapat dijadikan wadah pembentukan manusia yang berjiwa merdeka. Namun kenyataannya, lembaga pendidikan justru menjadi 'penjara' kebebasan berekspresi bagi orang-orang di dalamnya. Kerap terjadi kesenjangan antara kewajiban dan hak; antara warga sekolah dengan peraturan-peraturan penyelenggara yang sepihak, antara siswa dan guru, antara guru dan kepala sekolah, antara kepala sekolah dan pengawas, pemilik sekolah (yayasan) hingga level yang paling atas.
Penjajahan diri
Pertanyaan terbias, mengapa siswa enggan bersikap kritis, mengapa guru kurang berani bersikap kritis, mengapa kepala sekolah 'bungkam' terhadap aturan-aturan produk penyelenggara yang mengerdilkan fitrah manusia, atau mengapa para pejabat kita tahunya 'manut' tanpa memiliki kemandirian mengkaji ulang setiap kebijakan. Itu artinya kita belum menjadi manusia yang berjiwa merdeka. Padahal kita pasti setuju, sekolah atau lembaga pendidikan apa pun namanya haruslah menciptakan proses pemerdekaan manusia, bukan pembelengguan atau bukan menjadi sarang 'momok' yang membuat ketar-ketir hilang asa.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kasus-kasus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang sangat kontroversial dengan alam kemerdekaan ini. Atau masih banyak sekolah lain yang bermotif sama; pemaksaan kehendak. Tentunya kita menyadari, kita masih berkutat hidup pada urusan kesejahteraan individual, yang secara mental kurang mengabaikan kepentingan dan hak orang lain.
Penjajahan atas diri pun muncul dalam berbagai masker, misalnya keterjajahan kita dalam mengonsumsi tayangan-tayangan media elektronik; sinetron, program entertainment dan iklan yang mau tidak mau menyeret kita pada pola pikir imajinatif dan konsumerisme. Akhirnya jadilah kita orang yang memandulkan potensi dan energi diri alias pelamun dan pemalas. Di sisi lain kita juga masih dianiaya dengan perkembangan mode fashion, aksesoris dan culture Barat yang merambah signifikan meracuni masyarakat terutama kawula muda.
Jika sudah begini, sudahkah benar-benar kita merasakan kenikmatan alam kemerdekaan itu yang sesungguhnya? Kita selalu mengumbar pesan; kemerdekaan sudah diperjuangkan para pahlawan, maka tinggallah kita mengisi kemerdekaan dengan mengejar ketertinggalan di segala bidang. Namun, sejatinya kita masih belum siap bermental merdeka.
Kita boleh mengambil pelajaran dari perlombaan panjat pinang yang secara rutin dan populer diselenggarakan panitia-panitia HUT kemerdekaan, baik itu antar desa hingga antar kecamatan. Lomba ini sangat digemari masyarakat dan biasanya menyedot massa yang tidak sedikit. Hikmah yang dapat dipetik dari perlombaan tersebut adalah betapa sulit dan susah payahnya mencapai satu tujuan yang dicita-citakan.
Dibutuhkan strategi, kekuatan fisik dan mental serta semangat persatuan yang tidak tanggung-tanggung dalam meraih puncak kemenangan. Namun ironisnya, ketika tujuan telah diraih dan dikuasai biasanya mereka 'keblinger' mengendalikan kemenangan tersebut, bahkan tidak jarang muncul 'ego' hingga melahirkan ketidakadilan bagi anggota. Inilah sepotong gambaran kemerdekaan kita saat ini.
Apa pun ceritanya, kemerdekaan adalah milik segala bangsa. Melalui tulisan ini, saya mengimbau mari kita memaknai momen hari peringatan kemerdekaan ini secara totalitas sembari adanya introspeksi sebagai evaluasi. Kemerdekaan jiwa raga secara total dan yang terlebih sangat penting kemerdekaan dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Dirgahayu bangsaku, Dirgahayu negeriku Indonesia……. MERDEKA!!!!!

Catatan Pingir, 2010


Abu Al-Qalby

Share:

0 komentar