Esensi Kemerdekaan
“Orang yang merdeka adalah orang
yang berdiri diatas kaki sendiri dan bisa berjalan dengan kepala tegak bukan
berlindung dibalik kelemahan sebuah sistem yang mengatur dan selalu berada
dalam bayang-bayang kekayaan/ pengaruh keluarga. Orang yang merdeka adalah
orang yang mempunyai visi hidup kedepan serta senantiasa mempunyai paradigma
baru dalam memandang setiap masalah (Adzraa Ulima Nabigha: 2003)”
Akhirnya negara kesatuan pun adalah sebuah
'harga mati' yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Secara definisi, kemerdekaan
suatu bangsa adalah pernyataan kesanggupan untuk berdiri sendiri mengatur
segala macam urusan yang menyangkut kepentingan bersama. Kemerdekaan juga
berarti kesanggupan untuk saling berbagi menerima perbedaan latar belakang dan
pendapat sebagai rahmat (Said Tuhuleley, Gerbang: 2005) Memaknai kemerdekaan
perlu pemikiran yang cukup luas. Merdeka sebagai sebuah negara, merdeka
mengatur kehidupan; negara, masyarakat bahkan diri sendiri. Dan yang terlebih
penting merdeka dalam menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya menuju
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia .
Kemerdekaan secara totalitas baru dapat terisi
secara maknawi jika semua orang mampu membangun dirinya menjadi orang-orang
yang berjiwa merdeka yang teguh pada pendirian, memiliki integritas hidup,
membuka diri bagi perbedaan orang lain. Dengan kalimat yang lebih lugas,
orang-orang yang berjiwa merdeka; mereka berani menyatakan pendiriannya secara
santun, bermartabat dan jauh dari kesan pemaksaan kehendak serta memahami hidup
bukan sekedar ada tetapi “mengada”, hidup bukan hanya sekedar menjadi penghuni
bumi tetapi hidup untuk kehidupan generasi selanjutnya.
Persoalannya yang sebenarnya kurang kita sadari
adalah kekurangcermatan mengartikan momen hari proklamasi kemerdekaan kita ke
dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Kenyataan justru memperlihatkan sebagian
kita kerap berlaku setengah-setengah atau enggan berbuat secara totalitas. Kita
sadar memiliki kekuatan tetapi kekuatan itu justru menjadi lemah ketika kita
terhambat oleh peraturan dan kebijakan. Kita sadar memiliki potensi yang cukup
produktif namun keproduktifan itu berujung pada kemandulan yang disebabkan
faktor keterbatasan-keterbatasan, keberanian dan kesungguhan. Kebanyakan dari
kita takut untuk melangkah mencoba hal-hal baru, berinovasi padahal kit sadar
kita memiliki segalanya.
Kita sadar berhak menentukan cara yang terbaik
bagi hidup kita namun sesungguhnya kita masih merasa dalam lingkaran belenggu.
Atau sering kita terjebak pada lingkaran setan yang disebabkan menipu diri
sendiri ( politicking ) serta menjadi penganut budaya permisif . Dalam aspek
kehidupan, sadar tidak sadar kita sudah terseret pada alam yang jauh dari
kemerdekaan. Terjajah sistem dan pola pikir yang keliru dan stagnan. Banyak
indikasi yang menunjukkan keterjajahan itu, antara lain birokrasi yang terlalu
panjang, peraturan-peraturan yang mempersulit dan kurang berpihak serta
kemiskinan yang semakin parah.
Dengan kata lain, fisik dan mental kita belum
merdeka secara totalitas pula. Padahal untuk mempertahankan kemerdekaan negeri
ini diperlukan dukungan dari orang-orang yang berjiwa merdeka. Oleh sebab itu
yang terpenting ke depan adalah membangun manusia-manusia yang berjiwa raga
mereka seperti harapan yang terimplikasi dalam lagu kebangsaan; bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya.
Pembangunan manusia-manusia yang penuh percaya
diri sebagai insan merdeka yang santun, bermartabat dan tentunya berakhlak
mulia perlu digalakkan sekaligus dilestarikan. Dalam kaitan ini
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat sangat berperan. Kita juga memang
memerlukan manusia-manusia yang sadar akan kemanusiaannya dan kemanusiaan orang
lain. Sebaliknya kita tentu tidak membutuhkan manusia-manusia yang berwatak
imperialis, hipokrit atau bermental penjajah dengan mengandalkan power yang
dimilikinya.
Pemaksaan kehendak justru akan menguburkan
kemerdekaan jiwa raga. Kita dapat mengambil contoh, sekolah. Sekolah dapat
dijadikan wadah pembentukan manusia yang berjiwa merdeka. Namun kenyataannya,
lembaga pendidikan justru menjadi 'penjara' kebebasan berekspresi bagi
orang-orang di dalamnya. Kerap terjadi kesenjangan antara kewajiban dan hak;
antara warga sekolah dengan peraturan-peraturan penyelenggara yang sepihak,
antara siswa dan guru, antara guru dan kepala sekolah, antara kepala sekolah
dan pengawas, pemilik sekolah (yayasan) hingga level yang paling atas.
Penjajahan
diri
Pertanyaan terbias, mengapa siswa enggan
bersikap kritis, mengapa guru kurang berani bersikap kritis, mengapa kepala
sekolah 'bungkam' terhadap aturan-aturan produk penyelenggara yang mengerdilkan
fitrah manusia, atau mengapa para pejabat kita tahunya 'manut' tanpa memiliki
kemandirian mengkaji ulang setiap kebijakan. Itu artinya kita belum menjadi
manusia yang berjiwa merdeka. Padahal kita pasti setuju, sekolah atau lembaga
pendidikan apa pun namanya haruslah menciptakan proses pemerdekaan manusia, bukan
pembelengguan atau bukan menjadi sarang 'momok' yang membuat ketar-ketir hilang
asa.
Kita dapat mengambil pelajaran dari kasus-kasus
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang sangat kontroversial dengan alam
kemerdekaan ini. Atau masih banyak sekolah lain yang bermotif sama; pemaksaan
kehendak. Tentunya kita menyadari, kita masih berkutat hidup pada urusan
kesejahteraan individual, yang secara mental kurang mengabaikan kepentingan dan
hak orang lain.
Penjajahan atas diri pun muncul dalam berbagai masker,
misalnya keterjajahan kita dalam mengonsumsi tayangan-tayangan media
elektronik; sinetron, program entertainment dan iklan yang mau tidak
mau menyeret kita pada pola pikir imajinatif dan konsumerisme. Akhirnya jadilah
kita orang yang memandulkan potensi dan energi diri alias pelamun dan pemalas.
Di sisi lain kita juga masih dianiaya dengan perkembangan mode fashion,
aksesoris dan culture Barat yang merambah signifikan meracuni masyarakat
terutama kawula muda.
Jika sudah begini, sudahkah benar-benar kita
merasakan kenikmatan alam kemerdekaan itu yang sesungguhnya? Kita selalu
mengumbar pesan; kemerdekaan sudah diperjuangkan para pahlawan, maka tinggallah
kita mengisi kemerdekaan dengan mengejar ketertinggalan di segala bidang.
Namun, sejatinya kita masih belum siap bermental merdeka.
Kita boleh mengambil pelajaran dari perlombaan
panjat pinang yang secara rutin dan populer diselenggarakan panitia-panitia HUT
kemerdekaan, baik itu antar desa hingga antar kecamatan. Lomba ini sangat
digemari masyarakat dan biasanya menyedot massa
yang tidak sedikit. Hikmah yang dapat dipetik dari perlombaan tersebut adalah
betapa sulit dan susah payahnya mencapai satu tujuan yang dicita-citakan.
Dibutuhkan strategi, kekuatan fisik dan mental
serta semangat persatuan yang tidak tanggung-tanggung dalam meraih puncak
kemenangan. Namun ironisnya, ketika tujuan telah diraih dan dikuasai biasanya
mereka 'keblinger' mengendalikan kemenangan tersebut, bahkan tidak jarang
muncul 'ego' hingga melahirkan ketidakadilan bagi anggota. Inilah sepotong
gambaran kemerdekaan kita saat ini.
Apa pun ceritanya, kemerdekaan adalah milik
segala bangsa. Melalui tulisan ini, saya mengimbau mari kita memaknai momen
hari peringatan kemerdekaan ini secara totalitas sembari adanya introspeksi
sebagai evaluasi. Kemerdekaan jiwa raga secara total dan yang terlebih sangat
penting kemerdekaan dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Dirgahayu bangsaku,
Dirgahayu negeriku Indonesia …….
MERDEKA!!!!!
Catatan Pingir, 2010
Abu Al-Qalby
Tags:
Catatan Pinggir
0 komentar