RUSAKNYA NILAI DEMOKRASI AKIBAT KONFLIK PILKADA

Sumber gambar : m.okezone.com

  
Mengapa bangsa kita tidak cocok dengan faham demokrasi ? Mahatir berpendapat (mungkin juga Lee Kwan Yeuw juga mendukungnya…?) sebagian bangsa asia, therrmashoq Indonesia, lebih cenderung masuk dalam golongan bangsa X seperti yang dikatakan oleh Douglas Mc. Gregor. Gimana ciri-cirinya Bangsa X ? banyak orang yang sukanya dipimpin alias gak punya inisiatif, tidak punya tanggung jawab dan ingin selamat saja, ia dimotivasi oleh uang, keuntungan dan ancaman hukuman, bangsa ini cocoknya dipimpin dengan kontrol ketat seperti zaman Soeharto yang notabene merupakan guru dari Mahatir dan Lee Kwan Yeuw.

Hubungannya dengan Pilkada yaitu sistem Pilkada langsung yang disusun dengan begitu demokratis harusnya juga dijalankan dengan sebaik-baiknya. Caranya Seorang calon harusnya sudah siap-siap sejak awal dalam arti dia harus siap menjadi tokoh yang dikenal luas oleh masyarakat, juga telah memiliki visi-visi bagus guna pengembangan daerah yang akan dipimpinnya tentu saja visi itu juga sudah diketahui masyarakat sehingga masyarakat tahu siapa bakal dipilih jadi pemimpinnya di masa depan dan bukan seperti milih kucing dalam karung yang kerap dilakukan saat milih anggota Dewan saat pemilu.
Mengapa harus matinya( rusaknya) nilai  demokrasi saat Pilkada ? karena tidak ada calon Kepala Daerah yang melakukan sosialisasi diri maupun visi sejak jauh-jauh hari yang ada hanya menjelang Pilkada, tiba-tiba muncul orang-orang aneh, tak terkenal tapi tiba-tiba berlagak jadi tokoh masyarakat yang peduli pada pengembangan suatu daerah. merekalah para oportunis sejati, atau minimal orang-orang bodoh yang terkompori oleh para oportunis,  yang dengan modal dana yang besar memberanikan diri buat nyalon jadi kepala daerah. Dan apabila mereka jadi Kepala Daerah, apa yang terjadi ? Tentu saja klumpuk-klumpuk dana buat balikin hartanya yang hilang buat mbiayani Pilkada. Inilah yang disebut sebagai pesta demokrasi alias buat pesta-pesta ngambur-ngamburin duit buat menangin diri saat Pilkada.
ternyata ada calon kepala daerah yang sudah sejak jauh-jauh hari telah menjadi tokoh masyarakat yang kuat plus telah menyampaikan visi misinya dalam membangun daerah Siapa dia ? Mereka adalah para Kepala Daerah saat ini ( incumbent) yang nyalon lagi pada periode kedua, mereka baik langsung maupun tidak langsung telah mencuri start kampanye dengan pengaruhnya, dengan kekuasaannya, dengan kebijakan-kebijakannya, buat menarik hati rakyat (minimal melalui para PNS bawahannya) buat milih lagi di Pemilu berikutnya.Dan masyarakat Indonesia yang banyak opurtunis, plus dengan teori X-nya yang lebih suka dipimpindan dicekoki dengan uang plus fasilitas-fasilitas atau telah dibangunkan sarana prasarana padahal cuman rayuan pulau kelapa agar mereka milih lagi menjadi Kepala Daerah pada periode kedua. Apa yang terjadi setelah terpilih lagi ? wallahualam yang jelas, kepala daerah yang baik hati pada periode jabatan pertama….itu “palsu” dan belum teruji.
Terus terang bagi saya, jika suatu kepala daerah terpilih lagi pada periode kedua itu bukan karena kinerjanya yang baik tetapi semata-mata mereka telah mencuri start kampanye dengan merayu rakyat dengan berbagai cara buat menduduki jabatan Kepala Daerah pada periode kedua Dan disinilah sebenarnya yang menjadi salah satu faktor “Rusaknya nilai demokrasi saat pilkada”.

Proses pilkada sendiri tak jarang terjadi konflik horizontal yang bermuara pada ketidakpuasan terhadap hasil akhir pilkada. Dalam conflict fuctionalism terdapat konsep deprivation dan sense of injustice. Pada konsep ini, di mana perasaan diperlakukan secara tidak adil merupakan penyebab timbulnya konflik. Di luar kemungkinan adanya upaya mobilisasi massa dari pihak yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu.hal tersebut juga terjadi pada pilgub maluku utara  saat KPUD maluku utara mengumumkan bakal calon ( balon ) gubernur  yang menjadi calon tetap pilgub sesuai dengan PP no 6 tahun 2005.

Bahkan, Mendagri Mohammad Ma'ruf, mengakui dalam pengembangan kebijakan otonomi daerah yang bertujuan membangkitkan kemampuan daerah, ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Justru dengan otonomi, banyak daerah yang menutup diri bagi daerah lain atau menimbulkan eksklusifisme yang tidak peduli terhadap daerah lain.
Dalam proses reformasi ini, telah melahirkan UU No.22/1999 kemudian diubah menjadi UU No.32/2004, yang disusul oleh PP No.6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selanjutnya PP No.6/2005) dan beberapa pasal diubah melalui Peraturan Pemerintah No.17/2005 (selanjutnya PP No.17/2005). Hal ini karena dalam UU Pemerintahan Daerah tidak mengatur dan memberi acuan yang tegas kepada KPUD dalam menyelesaikan konflik.
Pasal 106 UU Pemerintah Daerah disebutkan "Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa hasil penetapan perhitungan suara Pilkada & Pilwakada dan KPUD."
Dalam pasal 112-114 PP No.6/2005 yang mengatur tahapan penyelesaian sengketa. Panwas akan mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan musyawarah dalam mencapai kesepakatan. Bila tidak terjadi kesepakatan, maka pengawas pemilihan akan membuat keputusan. Keputusan tersebut bersifat final dan mengikat. Sementara, bila terjadi laporan sengketa yang mengandung unsur tindak pidana, maka akan dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kemudian pemeriksaan dilakukan di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Dari catatan konflik Depdagri sedikitnya ada 15 daerah yang masih menyimpan masalah berkaitan dengan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) terhitung mulai Juli 2005 belum termasuk pilkada maluku utara.
Persoalan di Kota Solok, calon bupati terpilih dikenai hukuman 15 hari kurungan berkaitan dengan adanya gugatan mengenai pelaksanaan kampanye. Namun, bupati terpilih melakukan upaya banding ke pengadilan tinggi. Di Kab. Keerom (Papua), PT memutuskan sengketa secara damai, sehingga menyerahkan persoalan kepada DPRD untuk menyelesaikan sengketa yang ada.
Hal yang sama juga dialami Pilkada Kota Depok terkait dengan penolakan keputusan majelis hakim PT Jawa Barat yang memenangkan Badrul Kamal dan mengalahkan Nur Mahmudi Ismail. Akibatnya, pihak Nur Mahmudi menempuh upaya hukum untuk meminta peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung (MA). 
Konflik politik
Ilustrasi di atas merupakan konflik politik pilkada yang merupakan realitas di lapangan, ternyata tak seindah yang diimpikan. Pilkada yang telah berlangsung di lebih dari 165 Kab/kota di seluruh Indonesia itu tidak bisa dipungkiri telah meninggalkan sejumlah konflik yang patut dicermati.
Sejak sistem politik dan ketatanegaraan  berubah begitu juga dengan pemilihan kepala daerah banyak terjadi berbagai konflik dan unjuk rasa di sebagian wilayah Tanah Air, aksi unjuk rasa juga diwarnai kekerasan dan perusakan. Misalnya perusakan kantor KPUD terjadi di Padang Pariaman (Sumatra Barat) dan Pohuwato (Gorontalo). Aksi pendudukan dan pengepungan kantor KPUD pun marak di beberapa Kab./kota, misalnya di Depok (Jawa Barat), Semarang dan Sukoharjo (Jawa Tengah), Mataram (NTB), Toli-toli (Sulawesi Tengah), Gowa (Sulawesi Selatan), dan Gorontalo (Gorontalo), Cilegon (Jawa Barat), Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), dan Kaur (Bengkulu), di ternate (maluku utara ) salah satu massa bakal calon gubernur yang tidak lolos verivikasi  menduduki kantor KPUD dan memblokir jalan serta melakukan pengrusakan sarana public diwarnai bentrokan massa dengan petugas keamanan.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kita perlu mengapresiasi pemerintah dan semua pihak yang telah memungkinkan terselenggaranya pesta demokrasi lokal ini. Optimisme masyarakat harus dibangun dan bukan jadi "mainan" elite untuk bereksperimentasi demokrasi, bukan alat propaganda pemerintah kepada dunia luar tentang betapa "majunya" demokrasi di Indonesia, dan juga bukan melihat pilkada sebagai strategi elite untuk mengalihkan perhatian publik dari krisis ekonomi kepada masalah-masalah politik.
Secara teoretis ada beberapa keuntungan pilkada langsung yaitu mendekatkan negara (state) kepada masyarakat (society), mengembalikan kedaulatan dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan rakyat, memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat, secara psikologis pilkada langsung meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masyarakat di daerah; pilkada langsung memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah dan wakilnya untuk memerintah, dan pilkada langsung berkontribusi terhadap pengembangan demokrasi di tingkat lokal.
Beberapa hal ideal dari pilkada langsung dalam realitasnya dihadapkan pada bias-bias dan distorsi praktik penyelenggaraan pilkada langsung. Pertama kenyataan bahwa tidak semua yang terpilih dalam pilkada langsung adalah putra-putri terbaik yang dimiliki daerah bersangkutan. Masalah ini muncul karena tidak adanya calon independen, karena distorsi dalam seleksi di tingkat parpol (politik uang, intervensi dari DPP parpol, dsb.), atau karena faktor lain-lain (sosialisasi yang tidak memadai sehingga masyarakat "salah pilih", loyalitas buta pemilih yang mengabaikan pertimbangan rasionalitas, kecurangan yang sistematis, penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, dll.).
Kedua, kenyataan mengenai rendahnya tingkat partisipasi masyarakat di beberapa daerah dalam pilkada. Jumlah golput yang cukup banyak merupakan bukti kelelahan politik (political fatigue), kejenuhan, atau karena munculnya kesadaran kritis masyarakat di daerah terhadap pesta demokrasi lokal di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang akut.
Ketiga, adalah faktor klaim. Di daerah masih terlihat jelas "garis-garis" pengelompokan sosial menurut tempat kelahiran, kekerabatan, suku, dan agama/ideologi. Eksklusivitas ini akan melahirkan klaim-klaim yang dapat merugikan kelompok lain.
Keempat, tanpa adanya pengawasan kuat dari DPRD, civil society dan pemerintah pusat, kepala daerah/wakil kepala daerah terpilih kurang memiliki moralitas dan self-control yang kuat cenderung akan menyalahgunakan kekuasaan. Oligarki baru di tingkat lokal akan lahir (atau menguat bila yang terpilih adalah pejabat-pejabat lama) dengan terpilihnya kepala daerah/wakil kepala daerah baru.
Kelima, pilkada langsung akan menyisakan sakit hati kepada kelompok yang kalah atau tidak puas dalam pilkada. Untuk menghindari konflik dan resistensi seharusnya ketika menjabat si pemenang harus mampu merengkuh pihak yang kalah untuk bersama-sama membangun daerah.
Keenam, kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih memperoleh mandat langsung dari rakyat untuk memerintah dan membangun daerah. Amanat rakyat tersebut jangan disia-siakan. Program-program pembangunan yang realistis dan penyusunan RAPBD yang berbasis pada pemecahan permasalahan lokal memerlukan kompetensi yang tinggi dari birokrasi lokal. 
Dilema pascapilkada
Pada sisi lain, dilema demokrasi dalam pasca pilkada tentunya diharapkan munculnya elite politik lokal lewat partisipasi aktif semua komponen masyarakat untuk melibatkan diri dalam merealisasikan hak politik mereka, memilih siapa yang dipercaya untuk memegang superioritas kepemimpinan di tingkat lokal sekaligus menentukan masa depan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik daerah, memperkuat legitimasi politik masyarakat, serta mengurangi oligarki partai dan praktik politik uang yang terkesan terjadi dalam pilkada yang menggunakan model demokrasi perwakilan (representative democracy).
Selain itu, nuansa politik lokal di sejumlah daerah pascapilkada juga beragam yang tentunya tidak terlepas dari konflik politik horizontal. Di lain tempat justru pilkada langsung dilaksanakan dalam suasana yang tertib dan aman tanpa menimbulkan gejolak politik yang mengganggu ketertiban masyarakat. Kelihatannya, iklim politik yang kontroversial senantiasa mewarnai kehidupan demokrasi terutama pada masa sebelum dan sesudah pemilu, termasuk di dalamnya pilkada langsung.
Meskipun dapat dipahami jika ekspektasi masyarakat terhadap pilkada langsung mampu berfungsi sebagai wahana untuk mengartikulasi dan menjamin aspirasi publik yang mencerminkan kedaulatan rakyat dan semangat membangun masa depan bangsa. Namun, harus diakui proses politik ini selalu sarat dengan kepentingan sehingga tidak mengherankan jika pascapilkada langsung seringkali muncul berbagai persoalan yang berimplikasi pada proses penguatan prinsip-prinsip demokrasi dan terganggunya iklim politik yang kondusif di daerah.
Dilema itu di antaranya adanya alienasi politik dan kekerasan politik. Sepertinya sudah jadi gejala umum apabila sebelum dan pasca pilkada senantiasa diwarnai berbagai bentuk kekerasan politik seperti kerusuhan yang disertai dengan perusakan dan pembakaran terhadap bangunan/gedung pemerintah dan swasta, pembakaran kendaraan (mobil dan motor) dan bentrokan antara massa pendukung calon kepala daerah.
Meski dapat dipahami bahwa kekerasan komunal dan tindakan anarkis tidak hanya dinilai melanggar hukum, tetapi menghambat terwujudnya spektrum politik yang sehat dan sekaligus menjadi salah satu indikator ketidakdewasaan masyarakat dalam berpolitik. Akibatnya, seringkali atas nama demokrasi, orang kemudian dengan ringan tangan melakukan perusakan terhadap milik orang lain, atau dengan semboyan penegakan demokrasi ada sebagian orang yang dengan sewenang-wenang melakukan tindakan yang nyata-nyata sudah mengganggu ketertiban umum dan mengabaikan etika moralitas politik.
Selain itu kualitas calon. Mengingat kompleksnya masalah dan beratnya tantangan yang dihadapi oleh kepala daerah untuk membangun daerah pascapilkada, maka wajar apabila faktor kualitas termasuk di dalamnya kemampuan, visi, misi, dan moralitas yang dimiliki calon memainkan peranan sangat penting yang dapat mendukung kinerja calon di masa depan. Rakyat memerlukan kepala daerah yang mengetahui beragam persoalan yang dihadapi rakyat dan memiliki kepedulian terhadap penderitaan yang dikeluhkan oleh rakyat.
Dalam konteks ini pilkada langsung sebaiknya lebih diorientasikan pada substansi demokrasi ketimbang menampilkan wajah demokrasi yang bersifat formal dalam arti sekadar memilih figur. Oleh sebab itu, logis jika idealnya pilkada langsung seharusnya memperkuat demokratisasi politik di daerah oleh kontrol dan keterlibatan konstituen lebih besar terhadap pemerintah daerahnya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, pertama, kekuasaan yang diperoleh kepala daerah harus melalui kompetisi politik yang sehat dan terbuka. Dengan demikian, kita harus membuka ruang publik yang lebih terbuka yang oleh Sosiolog Jerman Juergen Habermas dikatakan sebagai suatu proses yang mana masyarakat secara terbuka dan bebas untuk melakukan perdebatan, sehingga menjadikan dinamika politik lebih demokratis. Sebaliknya, harus dihindari perilaku politik yang mengarah ke hegemoni politik yang justru seringkali menggunakan cara-cara yang bersifat represif yang pada akhirnya mematikan aspirasi rakyat.
Kedua, menumbuhkan swadaya politik masyarakat. Pilkada langsung oleh rakyat (direct popular vote) dinilai berpotensi untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam menggunakan hak politik mereka dalam proses politik yang tentu saja diwadahi oleh adanya keleluasaan dan kemampuan untuk mengorganisasi diri dalam aktivitas politik.
Ketiga, meningkatnya ekualitas. Untuk menjamin terlaksananya pilkada langsung yang aman, damai, dan demokratis, maka pihak penyelenggara pilkada, birokrasi pemerintah, DPRD, dan aparat keamanan harus memberi perlakuan yang sama kepada semua kandidat untuk berkompetisi secara sehat, jujur, dan terbuka sehingga berbagai bentuk praktik kecurangan dan pembusukan politik (political decay) yang menghambat terwujudnya iklim politik yang kondusif dapat dihindari.

Surabaya, 2005
terinspirasi dengan maraknya konflik saat Pemilukada

Share:

0 komentar