NETRALITAS SEMU [PNS] DALAM PILKADA

Sumber gambar: www.equator-news.com

SEJUMLAH berita yang dirilis media massa diternate akhir-akhir ini, diberitakan bahwa ada kepala daerah yang terang-terang menyatakan sikap mendukung Calon Gubernur (Cagub) tertentu menjelang pilkada yang digulirkan akhir oktober mendatang. Sikap tersebut kurang mendidik, serta kurang memberi pembelajaran politik bagi masyarakat dan tidak mencerminkan seorang kepala daerah yang seharusnya menjaga netralitas bawahannya untuk menciptakan pilkada yang demokratis. Semestinya setiap upaya atau sikap  itu harus didasari atas kepentingan masyarakat, dan bukan untuk kepentingan sekelompok orang saja untuk mendiskreditkan calon lain. "Kalau semua dilakukan secara fair, masyarakat pasti mendukung sepenuhnya. Yang penting sejalan dengan keinginan masyarakat. Tapi, kalau itu dilakukan hanya untuk mendiskreditkan salah satu calon, maka sudah melanggar etika dan aturan hukum yang berlaku. Bukan zamannya lagi mencari pemimpin rekayasa, dan memiliki pemimpin yang opurtunis.

Dan juga ada indikasi yang mengarah kesana bahwa sebagian besar pejabat struktural dan fungsional berlomba-lomba “menanamkan modal” (saham politik) dan ikut berpartisipasi secara tidak langsung dalam “tim Kerja” salah satu kandidat untuk menarik dukungan dengan kapasitasnya sebagai atasan, dengan alasan untuk mengamankan posisinya, padahal seharusnya mereka menyadari Gubernur terpilih nanti tidak dapat memecat, menurunkan pangkat dengan alasan apapun yang tidak dapat dibenarkan konstitusi. Pejabat seperti ini layak disebut Pelacur Birokrasi”.
Apa pun motif, dalih atau alasannya, tindakan kepala daerah, pejabat negara, pejabat publik, atau siapa saja, dalam menyatakan sikap untuk mendukung cagub tertentu atau secara tidak langsung mempengaruhi netralitas PNS pada Pilkada tidak dibenarkan. Sebab, netralitas PNS merupakan perintah hukum, yang harus ditaati PNS itu sendiri, di samping wajib ditaati seluruh subjek dan objek penyelenggaraan negara yang mana pun di negeri ini.
Tanpa netralitas PNS maka kehidupan bernegara tidak mungkin berjalan dengan baik, diposisikan seperti apapun  PNS memang harus netral untuk melanjutkan kehidupan bernegara ini. Tapi ini jangan justru dipolitisasi pihak manapun, netralitas ini harus dimengerti oleh semua pihak, karena sampai saat ini masih banyak atasan yang secara langsung atau tidak langsung “menggiring” PNS untuk berpihak pada satu pasangan calon Gubernur (Cagub) Oleh karena itu walaupun PNS tidak boleh masuk sebagai anggota parpol tapi bukan berarti harus buta politik, melainkan harus mengikuti perkembangan perpolitikkan. Jangan ketinggalan perkembangan politik agar tidak dijadikan alat dalam akrobat-akrobat politikus.
Aturan mengenai netralitas pegawai negeri sipil (PNS) diantaranya tertuang dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor SE/08/MPAN/3/ 2005, tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah. Berdasarkan edaran tersebut, PNS dilarang memasuki politik praktis menjelang masa kampanye berlangsung, misalnya dengan menggunakan fasilitas daerah yang terkait dengan jabatan. Selain itu, birokrat juga tidak boleh membuat keputusan yang menguntungkan salah satu calon.
Banyak sekali landasan hukum PNS bersikap netral dalam urusan politik praktis. Di antaranya UU 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan PP 5/1999 jo PP 12/1999, keduanya memberi rambu tegas (larangan) bagi PNS menjadi anggota, apalagi pengurus partai politik.
Sikap ketiga dari 6 Sikap Keputusan Musyawarah Nasional ke-5 Korpri (satu-satunya organisasi PNS di luar kedinasan), tahun 1999, menyatakan "PNS tidak melibatkan diri dalam kegiatan parpol".
PNS yang melakukan pelanggaran ketentuan itu, dikenai sanksi yang terdapat pada PP 30/1980. Bentuk sanksi, mulai diberi peringatan, diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri, diberhentikan tidak dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, sampai diberhentikan tidak dengan hormat.
Politisasi Birokrasi
Netralitas PNS dalam pemilu dinyatakan pada Pasal 75 UU 12/2003 Tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPRD. Ayat (3) Pasal itu berbunyi: "Partai politik peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye, dan juru kampanye dalam pemilu".
Larangan tentang PNS untuk terlibat dalam politik praktis tidak hanya pada pilkada tetapi juga pada pemilu skala nasional. Bahkan, pada Pasal 40 UU Pilpres ditetapkan: "Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa atau sebutan lain, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama waktu kampanye".
Penjelasan Pasal 40 UU Pilpres berbunyi: "Yang dimaksud dengan pejabat negara dalam undang-undang ini, meliputi presiden, wakil presiden, menteri/kepala lembaga pemerintahan nondepartemen, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.
Aneh bin ajaib, bahkan sangat disayangkan, sekaligus amat memalukan, mengapa sedemikian ketatnya rambu hukum untuk menjaga menetralitas PNS dalam pemilu, tidak juga mampu meniadakan aksi pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, termasuk kepala desa atau sebutan lain, yang bersifat politisasi birokrasi.
Aksi politik tidak terpuji yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan (birokrasi negara) itu, bisa merusak netralitas PNS dalam Pilkada. Mengapa? Karena kultur birokrasi negara kita, sarat ciri feodalisme, paternalisme dan primordialisme.
Ketiga ciri tersebut, tampak terutama dalam watak pribadi rarata-rata bawahan yang bersifat subordinasi bawahan (kawula) terhadap atasan (gusti). Pegawai bawahan, takut melakukan perlawanan terhadap tindakan atau perintah atasan, walau jelas-jelas bawahan menyadari tindakan atau perintah atasan mereka merupakan pelanggaran hukum.
Selain itu, kendati PNS sadar mandat hukum mereka adalah untuk bersikap netral dalam pesta demokrasi, tetapi ketika atasan, khususnya yang mempunyai kewenangan memberi sanksi administratif kepada bawahan, maka upaya wali kota atau bupati menggiring PNS untuk mendukung serta mencoblos foto pasangan cagub/ cawagub tertentu, membuat penggunaan hak politik PNS di bilik suara tidak sesuai tuntutan hati nuraninya, tetapi sesuai perintah atasan.
Tim Sukses
Seharusnya, hak politik PNS yang memang hanya di bilik suara itu, dijunjung tinggi seluruh pejabat negara, struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, maupun kepala desa (sebutan lain), sesuai perintah undang-undang. Sebab, berbeda dengan anggota TNI dan Polri, yang -sesuai perintah hukum- tidak menggunakan hak suara, PNS (masih) berhak menggunakan hak politik warga negara di bilik suara.
Selain di bilik suara, PNS tidak boleh melibatkan diri secara langsung atau tak langsung, sengaja atau tak sengaja, dalam seluruh bentuk keberpihakan PNS kepada peserta pemilu legeslatif lalu. Juga diharamkan berkepihakan kepada pasangan cagub/cawagub tertentu pada pilkada mendatang.
Konsisten dengannya, setiap PNS tidak dibenarkan oleh hukum untuk menjadi tim sukses atau tim kampanye yang mana pun. PNS pun dilarang ikut dalam kampanye pemilu, baik pemilu legesIatif maupun pemilihan presiden serta pilkada.
PNS juga tidak diizinkan memengaruhi warga masyarakat untuk memilih, atau tidak memilih pasangan cagub/cawagub peserta pilkada, sebagaimana tidak juga diperkenankan menonjolkan kelebihan pasangan tertentu, sembari menjelek-jelekkan pasangan calon lainnya.
Kejahatan Politik
Sikap netral PNS dalam pilkada  mendatang, merupakan prasyarat mutlak berlangsungnya pilkada yang bersifat luber dan jurdil. Sebab, kalau ada PNS yang bersikap tidak netral, apalagi sampai terang-terangan berpihak kepada pasangan cagub/cawagub tertentu, maka penggunaan fasilitas negara di bawah kendali kekuasaannya, dapat terarah (secara prioritas) bagi pemenangan pasangan tertentu.
Kecenderungan demikian, bisa menyebabkan pesta demokrasi tingkat lokal, akan diwarnai aneka bentuk kejahatan politik pejabat negara, atau pejabat publik, terutama oleh bupati, wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, dan berbagai pejabat publik lain, pejabat struktural maupun fungsional di lapangan.Kejahatan politik dimaksud, bermuara pada upaya mempertahankan kekuasaan (status quo) sang pejabat, dengan mengorbankan hak serta kewajiban kewarganegaraan pihak lain. Pejabat negara, sturktural dan fungsional dalam jabatan negeri, juga kepala desa (atau sebutan lain) yang menggiring, apalagi memaksa PNS memberikan suaranya kepada pasangan cagub/cawagub (saham politik sang pejabat), telah melanggar hukum, sehingga patut diajukan ke meja hijau.
Lebih dari itu, model penggiringan dan pemaksaan PNS yang mereka lakukan, dapat secara sistemik dan terstruktur menyebabkan gangguan atas pilkada. Kalau dibiarkan eksis, bukan cuma negara yang dirugikan, karena negara adalah lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga rakyat yang membiayainya.
Rasionalitas itu, mendorong perlunya semua pihak, terutama PNS, untuk senantiasa berupaya menegakkan, menjaga dan mengutamakan netralitas pada pilkada mendatang. Konsekuensinya, tidak boleh ada pihak mana pun, mulai dari walikota, bupati sampai kepala desa, yang boleh dibiarkan terus menerus mengusik netralitas PNS di tengah kesemarakan pemilihan kepala daerah secara langsung
Seandainya ada pihak tertentu yang mengganggu netralitas PNS, mereka harus berani menanggung risiko kemungkinan terjadinya boikot publik atas pilkada beberapa bulan mendatang. Sebab, publik sadar betul kalau PNS yang dalam wadah Korpri dikenal sebagai abdi masyarakat tidak bersikap netral bukan mustahil pilkada mendatang akan berlangsung penuh dosa dan noda demokrasi.netralitas itu dapat tercapai jika PNS mengambil posisi politik seperti TNI/Polri karena sama-sama sebagai pelayan publik. Tetapi itu sulit karena "Mental politik mereka sudah mengakar ke salah satu partai politik, meski kita sudah berada di alam reformasi, karena Korpri merupakan salah satu mesin politik kemenangan pada masa Orde Baru.
Wahai pelayan masyarakat ( PNS )  dengarlah hati nurani sudah saatnya turuti dan berpihak pada majikan ( Masyarakat ) kalian…!!!! Semoga pilkada mendatang melahirkan pemimpin yang amanah bukan pemimpin yang mencari aman dari legalitas sebuah sistem yang penuh rekayasa dan korup…….. !!!!!!

Ternate, 2010
Menjelang Pilgub Propinsi Maluku Utara Periode 2008-2013

Share:

0 komentar