MEREKA YANG MERASA BENAR DI JALAN YANG SESAT; Komprador Politik

Suatu ketika saya mendapati sekumpulan anak muda yang sedang berdiskusi. Salah seorangnya berseru menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi faktual daerah ini. Dengan lantang menyatakan, "sudah lima tahun menjabat tetapi janji-janji politik saat pencalonan lima tahun lalu tidak dipenuhi, ada persoalan-persolan mendasar yang tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintahan mereka, sebelum selesai masa jabatannya, kita harus menuntut (menagih) janji mereka agar dipenuhi”. Lantas yang lain berseloroh menyatakan “kamu kan dahulu termasuk tim sukses yang berhasil mengantar pasangan tersebut menduduki jabatan penghulu daerah ini?”. Dan yang lain juga menyatakan “Demokrasi kitakan demokrasi supermarket dimana bila anda memilih seorang pemimpin yang menjanjikan sesuatu kemudian dia ingkar janji setelah jadi sedangkan anda tidak punya kuasa untuk menarik dukungan anda. Perlu diingat  ada hukum yang berlaku di supermarket "barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan"

Rupanya dari peristiwa ini menggambarkan bahwa begitu mudahnya menarik dukungan dengan menyodorkan permasalahan tanpa disertai indikator yang jelas untuk menilai keberhasilan atau kegagalan suatu rezim  sebagai justifikasi perubahan peran dan sikapnya. Wacana menagih janji politik dengan menggulirkan visi-misi dengan mengatasnamakan suara rakyat adalah suara tuhan untuk melabeli keresahannya. Ini menandakan kecendrungan kedua arah, pertama kecewa sebagai masyarakat yang terekslusi oleh kebijakan pemerintah dan yang kedua kecewa sebagai martir (tim sukses) karena tidak mendapatkan imbalan yang layak (menurutnya).

Keprihatinan dalam bentuk kritikan sah-sah saja disampaikan dalam era demokrasi saat ini, namun perlu diingat bahwa dalam mengkritik kita harus obyektif dalam melihat kondisi faktual. Obyektif dengan menentapkan indikator yang digunakan untuk mengkritik. Bukan malah mengkritik dengan tendensi politik. tentunya masyarakat berharap bahwa kritik yang ditujukan kepada pemimpin harus menjelaskan secara rasional bentuk keprihatinan yang disertai dengan data-data, bukan malah menyajikan permainan kata-kata yang mirip seperti bait-bait puisi.

Kritikan yang disampaikan menjelang momentum pemilukada menunjukkan bahwa arena kontestasi politik lokal mulai berdenyut, riak-riak kecil yang ditimbulkan kekecewaan mulai menampakkan diri dengan memanfaatkan kompetisi antara pasangan calon yang bertarung pada momentum pemilukada.

Pemilukada merupakan arena kontestasi politik dengan kompetisi antar pasangan kandidat dan pemenangan ditentukan suara terbanyak oleh pemilih. Bila disimak secara saksama secara konseptual metafora itu terwujud dari tiga modal utama yang dimiliki oleh para calon yang akan mengikuti kontestasi dalam pemilukada tersebut. Ketiga modal itu adalah political capital, social capital dan economical capital (Marijan Kacung, 2006;89). ketiga modal ini dapat mempengaruhi seorang kandidat dalam memperoleh dukungan dari masyarakat. Semakin besar akumulasi modal yang dimiliki oleh seorang kandidat maka semakin besar pula dukungan yang diperoleh dan semakin besar pula hasrat komprador politik untuk bergabung guna mengeruk keuntungan.

Celakanya elit lokal yang bertarung tidak memiliki keseluruhan modal utama tersebut dan diperparah dengan sikap paranoid dari elit yang bersangkutan. Disinilah celah yang dimanfaat oleh komprador politik untuk bermanuver. Sikap opurtunis, pemburu rente komprador politik lalu bersenyawa dengan sikap paranoid membentuk kontruksi relasi simbiosis mutualis dengan mengorbankan kepentingan daerah (masyarakat).

Mereka (komprador) ini gemar terlibat dalam aktivitas politik yang menggunakan mekanisme demokrasi langsung dengan penetapan jumlah suara terbanyak sebagai penentu pemenang. Mereka [komprador] sudah terbiasa mendudukan dirinya sebagai operator yang berjiwa kacung, tetapi berpenampilan elit yang seakan-akan berilmu. Padahal tidak memiliki pengetahuan mengoperasionalkan komunikasi politik untuk menjajakan barang dagangannya (marketing politic).  Vox populi, vox dei seolah menjadi mantra sakti untuk melabeli setiap aktivitas mereka.

Daerah ini hancur oleh aktivitas relasi transaksional antara Pemimpin-Komprador politik dan kepentingan masyarakat sebagai tumbalnya, relasi ini terbangun saat momentum politik akibat ulah para komprador politik, yang pastinya mereka berjiwa munafik-bicara dusta-ingkar janji dan khianat. Dimana akan menjadi oposan bila imbalan yang diterima tidak sebanding dengan harapan mereka.

Tidak berlebihan bila komprador politik dengan mudah menarik dukungan dan berperan sebagai oposan, dengan mengkritik penguasa karena demokrasi memberikan mereka ruang untuk itu. Demokrasi memberi mereka (komprador) tempat untuk bersiyasah menancapkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat. Maklum, demokrasi ditafsir dengan nalar oportunis dan pemburu rente yang sudah barang tentu menguntungkan secara ekonomi maupun politik.


Dengan kenyataan demikian lantas siapa yang harus menghentikannya? Demokrasi yang kita pilih sebagai instrumen dalam menentukan dan memilih pemimpin harus dikembalikan pada khitahnya yakni dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat melalui pematang konstitusioal. Memang muncul sebuah dilema di sini. Jika watak oportunis, pemburu rente dan pengkhianatan terhadap kepentingan masyarakat, dan berhak menggugah kesadaran publik tanpa merasa bersalah karena turut andil mengantarkan elit lokal ke tampuk singgasana penghulu daerah ini, itu tetap saja berjalan,  maka menurut saya sangat sederhana dan singkat untuk mengatakan : "Itu karena mereka merasa benar dijalan yang sesat”.Top of Form

Share:

0 komentar