• Home
  • Download
    • Premium Version
    • Free Version
    • Downloadable
    • Link Url
      • Example Menu
      • Example Menu 1
  • Social
  • Features
    • Lifestyle
    • Sports Group
      • Category 1
      • Category 2
      • Category 3
      • Category 4
      • Category 5
    • Sub Menu 3
    • Sub Menu 4
  • Travel
  • Contact Us

Al-Qalby Institute

“Didiklah dan persiapkanlah generasi penerusmu untuk suatu zaman yang bukan zamanmu, karena mereka akan hidup pada suatu zaman yang bukan lagi zamanmu”. By Sayyidina Ali

Setelah membaca tulisan Syahroni A Hirto di kolom opini Malut Post edisi 20 November 2014 tentang “SKPD Kelurahan; catatan peningkatan status kelurahan menjadi SKPD”. Keresahan dalam bentuk kritik yang disuarakan, membuat saya bertanya-tanya apa kritik itu lahir dari sebuah proses menelaah isu dengan cara kontekstualisasi studi pustaka atau kritik yang dituangkan (diambil) dari web sebelah (sila kunjungi http://karenglor.kelurahan.probolinggokota.go.id/?p=229  dan lihat tulisan dengan judul “Kelurahan Jadi SKPD…? Why not?”)  yang mengulas keresahan yang sama, ataukah ini semacam upaya prakondisi menyambut hajatan pilwali tahun depan? Karena diakhir tulisan menyinggung hal itu (sebagai kado diakhir masa jabatan).

Ada dua keresahan yang diungkapkan yakni: 1). Legalitas dan 2). Sinkronisasi tata kelola anggaran dan perencanaan. Untuk keresahan pertama dengan sendirinya telah dijawab dengan mengutip beberapa aturan perundang-undangan dan derivasinya, kemudian diperkuat dengan menunjukan praktek serupa sudah diterapkan di beberapa daerah lain sejak tahun 2012, informasi terbaru  terbaru pada tahun 2015 semua kelurahan di Kota Bandung akan berubah menjadi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), tak terkecuali Kelurahan Rancanumpang Gedebage Kota Bandung. Sebaliknya rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menjadikan kelurahan sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pada tahun 2015 mendapat kritikan dari anggota DPRD Surabaya.

Keresahan kedua tata kelola keuangan. Mengingat kelurahan statusnya diubah menjadi SKPD maka tata kelola keuangan disesuaikan dengan SKPD tentunya. Sejak era reformasi ada upaya revolusioner yang dilakukan terkait dengan perubahan pendekatan akuntansi pemerintah daerah dari single entry menuju Double entry, bergesernya fungsi ordonancing dari Badan atau Bagian Keuangan ke setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan SKPD sebagai accounting entity berkewajiban untuk membuat laporan keuangan SKPD . Beberapa hasil penelitian menunjukkan penyajian pelaporan keuangan daerah belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah daerah maupun di jajaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemerintah Daerah terutama neraca.

Jadi yang diperlu dikuatirkan adalah apakah sumber daya manusia di kelurahan telah siap atau tidak dan bagaimana pertanggung jawaban pengelolaan keuangan. Bukan pada aspek legalitas ataupun sinkronisasi perencanaan dan penganggaran.

Hambatan
Permasalahan klasik yang selalu dihadapi kelurahan sebagai garda depan perangkat daerah, sedari dulu sampai saat ini yang tak kunjung terselesaikan dan selalu berkutat dikarenakan mind set yang berkembang selama ini bahwa pegawai yang dipekerjakan di kelurahan adalah orang-orang buangan sehingga berimbas pada ketersediaan sumber daya manusia, berimplikasi pada penempatan Lurah tidak sesuai dengan pangkat dan jabatan yang sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Kemudian masalah teknis misalnya bangunan kantor dan kelengkapan penunjang lainya. Hambatan-hambatan ini yang harus diselessaikan pemerintah Kota Ternate sebelum berwacana mengubah status kelurahan menjadi SKPD.

Misi Suci
Dibentuknya sebuah pemerintah pada prinsipnya bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat.  Demi tercapainya tujuan tersebut, pemerintah memiliki tugas yang sangat krusial yang mempunyai empat fungsi utama yaitu alokatif, distributif, stabilisasi, dan sustainabilitas (keberlanjutan). Berdasarkan fungsi itu, pemerintah sebagai provider  layanan publik harus mengedepankan kepentingan masyarakat dan berupaya untuk memberdayakan masyarakat dalam setiap kebijakan yang dihasilkan.

Dengan demikian instansi pemerintah yang secara struktural diatas kelurahan memiliki kewajiban melakukan pembinaan atas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kepada pemerintahan kelurahan. Sebagai upaya untuk menumbuhkan inovasi dan kreatifitas agar upaya-upaya percepatan atau akselerasi pembangunan kelurahan seperti penanggulangan kemiskinan, penanganan bencana, peningkatan ekonomi masyarakat, peningkatan prasarana perkotaan, pemanfaatan sumber daya dan teknologi tepat guna dan pengembangan sosial budaya pada skala kota.

Sehingga perubahan status kelurahan menjadi SKPD harus dilandasi dengan misi suci  yakni semata-mata untuk mensejahterakan masyarakat dilingkup kelurahan. Bukan karena niatan lain..

Alternatif solusi
Dalam undang-undang yang terkait menyebutkan bahwa kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota di bawah kecamatan.  Jika ditelisik lebih mendalam akan bermuara pada kesimpulan bahwa kecamatan dan kelurahan adalah wilayah kerja atau bisa juga mengandung kesimpulan bahwa kelurahan sebagai bentuk local government pada level pemerintah daerah (kab/kota). Kelurahan lebih merepresetasi kepentingan pemerintah daerah ketimbang kepentingan masyarakat. Beban penanganan masalah kemasyarakatan bukan pada kelurahan, melainkan merupakan beban kepala kelurahan atau lurah. Konstruksi relasi kuasa seperti ini mengingatkan kita pada “kewenangan atributif” yang dimiliki Gubernur, Bupati, Walikota dan Camat. Kewenangan yang melekat pada pejabat dan bukan organisasi pemerintahan. Kewenangan yang bersumber dari delegasi kekuasaan dari level yang paling atas kejejang berikutnya mana sampai pada level pemerintahan di bawahnya.

Pada konteks seperti ini pemerintah kota Ternate tidak perlu tergesa-gesa mengubah status kelurahan tanpa disertai riset tentang kesiapan kelurahan secara organisasi dan ketersediaan dana yang dialokasikan untuk kelurahan sebagai SKPD. Apalagi ada kesan yang muncul pemerintah “lepas tanggung jawab” terhadap masyarakat diluar pulau Ternate dengan mengalihkan status dari kelurahan menjadi desa meskipun secara kostitusional belum ada aturan yang mengatur hal itu. Ini adalah bukti bahwa secara keuangan pemerintah kota Ternate tidak mampu membiayai pengadaan public goods yang semestinya ini menjadi tanggung jawabya.

Pelimpahan sebagian urusan merupakan solusi cerdas dan tepat untuk diterapkan saat ini dibadingkan dengan mengubah status menjadi SKPD akan membutuhan kajian yang medalam dan persiapan yang matang sebelum diterapkan. Namun harus diingat pelimpahan sebagian urusan harus disertai dengan prinsip “money folow function”. Dengan pelimpahan sebagian urusan yag disertai dengan kewenagan memungkinkan lurah bekerja lebih terarah, lebih efektif, dan lebih “mengurus”. Lurah dapat bertindak sebagai perangkat daerah yang memutuskan masalah-masalah masyarakat sekaligus sebagai orang yang bertindak atas nama Walikota dalam urusan-urusan tertentu.


Apapun itu, sudah saatnya Lurah dan perangkatnya harus diberdayakan. Mendudukan lurah tanpa melimpahkan sebagaian urusan atau menjadikan organisasinya sebagai satuan kerja perangkat daerah sama saja dengan menjadikannya “pemimpin boneka”. Pemerintah kota Ternate sudah saatnya melakukan itu dan memilih apakah menetapkan kelurahan sebagai SKPD atau melimpahan sebagian urusan pada kelurahan. Jika tidak memilih salah satu atau menetapkan keduanya, mungkin sebaiknya kelurahan dihapuskan saja....
“"Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (Buhari– 6015)”


Kutipan hadits diatas setidaknya bisa memberi kita langkah mitigasi dalam berdemokrasi, sejatinya dalam berdemokrasi bukan berdasarkan like and dislike, Alim (taat bergama), asal-usul kedaerahan (primordial), satu organisasi (primordial gaya baru) atau yang lain. Hasil pemilukada menentukan nasib kita (daerah) kedepan, karena yang kita pilih nantinya akan menjadi pemimpin kita, dimana segala harap disandarkan, yang kita pilih nantinya akan menjadi pemimpin birokrasi yang menjalankan roda pemerintah. Sehingga “keahlian dan ilmu” mutlak adanya sebagai syarat utama, mengelola pemerintahan membutuhan keahlian dan ilmu, bukan hanya dukungan suara terbanyak yang diraih dari proses pemilu, lantas bisa menjamin roda pemerintah berjalan tanpa ada gejolak.

Saat ini, lagi-lagi kita disuguhan “dagelan” dengan lakon politik anggaran dengan pemeran utama Gubernur Maluku Utara. Kenapa saya katakan dagelan, karena sebagai seorang pejabat publik, setiap kata yang diucapakan dan tindakan yang dilakukan adalah sebuah kebijakan, rupa-rupanya sang gubernur tidak menyadari itu. Malah menjalan roda pemerintahan dengan gurauan layaknya sebuah dagelan.  

Sejak dilantik sampai saat ini birokrasi pemprov Maluku Utara  dibawah kendali AGK-Manthab tidak lepas dari polemik. Polemik terakhir yang dihadapi AGK-Manthab terkait dengan politik anggaran yakni rencana alokasi anggaran bagi Perguruan Tinggi di Maluku Utara sebesar 100 M dan “mobilisasi” anggaran dalam APBD melalui kegiatan dan program lebih diutamakan untuk kabupaten Halmahera Selatan.

Sarat muatan politik
Perdebatan diruang publikpun tidak terelakan lagi, lagi-lagi menyeret dunia kampus. Namun perdebatan yang terjadi lebih kental muatan politik bukannya perdebatan yang kontruktif, sebab argumentasi yang disajikan lebih menekankan pada dimensi ekonomi politik “siapa mendapatkan apa dan bagaimana mendapatkannya. Tentunya perdebatan seperti ini akan bermuara pada sakwa sangka, saling tuduh dan curiga dengan klaim pembenaran politik balas jasa (politik tukar guling).

Polemik terkait politik anggaran pemerintah propinsi Maluku Utara menarik untuk didiskusikan dari perspektif ekonomi-publik lebih tepatnya anggaran publik (public budgeting). Karena Anggapan umum yang berlaku selama ini memandang Anggaran publik adalah instrument utama kebijakan keuangan pemerintah yang dipandang sebagai keberpihakan (prioritas) dan juga merupakan cerminan dari peran (fungsi) pemerintah; alokatif, distributif stabilitas dan sustainibilitas dalam perekonomian dan pembangunan demi tercapainya kesejahteraan bersama.

Bisa dikatakan bahwa melalui anggaran pemerintah menjalankan fungsinya demi terciptanya kesejahteraan bersama. Artinya semua kebijakan penganggaran harus bermuara pada kesejahteraan dengan cara menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan harapan mantra trickle down effect  bekerja (development growth). sehingga urgensi dari sebuah kebijakan penganggaran adalah keberpihakan pada masyarakat dengan mengedepankan asas keadilan dan proporsionalitas dalam tata kelola anggaran. Urgensi kebijakan adalah kunci dari setiap kebijakan anggaran publik, bukan terletak pada besaran nominal dari alokasi anggaran bukan pula mobilisasi dana yang bertumpu pada satu wilayah.


Diskursus
Fozzard (2001) mengatakan bahwa permasalahan pokok yang selalu mengiringi penganggaran yakni “apa yang menjadi dasar (pijakan) bagi alokasi sumber daya, termasuk anggaran”?.  Permasalahan ini yang seharusnya menjadi concern diskursus terkait polemik politik anggaran. Secara ekplisit keresahan dari fozzard  bila dipadatkan dalam satu kata yaitu “Urgensi”. Dasar pijakan dari suatu kebijakan adalah bagaimana tingkat urgensi dari sebuah kebijakan dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan utama. Jika diskursus yang berlangsung dibingkai dengan frame political economy maka setiap argumentasi yang disajikan sarat dengan interest. Tentunya perdebatan seperti ini akan menjadi menjadi residu yang setiap saat bisa melemahkan pegawasan kita terhadap kinerja pemerintah daerah.

Urgensi kebijakan peganggaran bertolak dari pendapat bahwa sejauh mana kebijakan tersebut mampu menjawab (mengatasi) persoalan utama (public affair) yang dialami suatu daerah. Kuncinya adalah urgensi sebuah kebijakan sangat ditentukan kemampuan kebijakan tersebut untuk menjawab persoalan utama. Nah bisa kita simpulkan urgensi kebijakan erat kaitannya dengan permasalahan utama.

Permasalahan Utama
Muncul pertanyaan kemudian, sebenarnya apa yang menjadi permasalahan utama masyarakat Maluku Utara saat ini? Sehingga membuat gubernur menjalankan strategi politik anggaran seperti itu. Apakah pendidikan tinggi menjadi permasalahan utama dibidang pendidikan di Maluku Utara atau bukan? Apakah Kabupaten Hal-Sel layak diprioritaskan dibanding dengan Kab/Kota lainnya di Maluku Utara? Sebagai sebuah gebrakan dengan menggunakan asumsi “big push theory”. Untuk menjawab pertayaan tersebut seharusnya data dijadikan sebagai pijakan kebijakan anggaran dalam menentukan urgensi (prioritas) kebijakan pemeritah AGK-Manthab. Ataukah justru sebaliknya data yang menjadi permasalahan utama dalam menentukan urgensi (prioritas) sebuah kebijakan?.

Dalam kajian kebijakan publik saat ini trend kebijakan mengarah pada kebijakan yang berbasis evidence, dimana data yang memegang peranan penting dalam melahirkan sebuah kebijakan berbasis evidence. Kebijakan publik lahir dari dialektika realitas dan harapan publik namun perlu diingat bahwa kebijakan publik bukanlah aspirin yang bisa mengobati segalanya dan setiap kebijakan akan membuat ada pihak yang terekslusi  mulai dari agenda setting sampai proses implementasi kebijakan.

Kenapa tanpa memperhatikan data dan realitas yang ada gubernur berencana mengalokasikan dana sebesar 100 M untuk Perguruan Tinggi di Maluku Utara dan memobilasasi dana (melalui program dan kegiatan) ke Kabupaten Hal-Sel dan pada tahun anggaran 2015? mengapa gubernur begitu berpihak pada satu sub sektor dan satu daerah sementara yang lainya begitu “pelit” (hati-hati)?

Jika kita meminjam analisis yang digunakan Amenta dan Carruthers dalam konteks polemik terkait politik anggaran, setidaknya ada tiga logika yang bisa digunakan untuk menjelaskan pertanyaan diatas, pertama dengan menggunakan logika ekonomi, pandangan ini mirip dengan logika hukum Wagner (The increasing of state activity) menyatakan  bahwa perkembangan sosial-ekonomi dan teknologi memaksa peranan pemerintah dalam bidang pereonomian cendrung meningkat mengikuti perkembangan, karena perkembangan sosial-ekonomi dan teknologi menciptakan masalah-masalah sosial diantaranya adalah kesenjangan wilayah (Bradshaw, 2005), dan Kemiskinan yang harus segera diatasi oleh pemerintah.  Pertanyaannya apa Kab Halmahera Selatan mengalami kesenjangan yang begitu lebar baik dari segi infrastruktur maupun penghasilan dibandingkan dengan kab/kota lainnya di Maluku Utara? Lagi-lagi data yang bisa menjawab itu.  

Kedua logika politik. Menjelaskan  bahwa mobilisasi dana  sebagai hasil dari institusi-institusi politik dan partisipasi politik dari kompetisi pilitik yang telah berlangsung, karenanya mobilisasi dana bukanlah hasil dari keberpihakan (prioritas) pemerintah untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi melainkan sebagai pegaruh proses-proses politik yang telah berlangsung. Politik disini memiliki dua makna yaitu politik pemilu (electoral politic) dan politik sebagai gerakan-gerakan sosial. Jika kita menggunakan logika ini patut dicurigai langkah yang nantinya ditempuh adalah balas jasa dari hasil pemilukada atau politik tukar guling.

Ketiga logika peran  gubernur.  Logika ini memandang gubernur bukanlah aktor  yang pasif dari sebuah institusi pemerintah, bukan juga “alat” dari institusi politik dan kelompok masyarakat, sebaliknya gubernur juga memiliki otonomi dan kepentingan sendiri. Oleh karena itu asal-usul kebijakan mobilisasi dana bisa ditelusuri dari kepentingan, asal usul dan kapasitas gubernur. Logika ini menekankan pada peran gubernur yang bersifat langsung yaitu kapasitas penguasa daerah (kuasa pegguna anggaran dan kapasitas birokrasi) dalam menyediakan dana dan berbagai program dan kegiatan dengan menggerakkan birokrasi agar bekerja sesuai dengan kepentingan gubernur sebagai aktor yang memiliki otonomi dan kepentingan sendiri. Lantas sebenarnya apa kepentingan terselubung dari kebijakan tersebut?

Manfaat untuk masyarakat dengan mendahuluan si miskin
Dalam era desentralisasi dan demokratisasi saat ini, politik anggaran yang dimainkan oleh eksekutif yang memiliki mandat untuk mengeksekusi setiap kebijakan bisa ditrack  dan dipantau oleh publik, jika kebijakan anggaran dilandasi untuk kepentingan rakyat/masyarakat dan dialokasikan dengan tepat maka akan menjadi penentu atas kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat/masyarakat. Kata kuncinya memang untuk masyarakat, dari setiap kebijakan yang dihasilkan yang mana yang bermanfaat bagi masyarakat secara konkret, itulah yang seharusnya menjadi urgensi (skala prioritas) kebijakan anggaran. Tidak mudah memang mendefnisikannya dengan keterbatasan sumber daya, baik finansil maupun institusional, pemerintah AGK-Manthab harus mampu membuat skala prioritas. Jika ukurannya manfaat untuk maka kebijakan yang dihasilkan seharusnya lebih mendahulukan masyarakat (miskin) dan langsung bersentuhan dengan kebutuhan dasar masyarakat (miskin). 

Dalam konteks demikian maka anggaran pro poor bisa dijadikan alternatif pengganggaran dalam pemerintah propinsi Maluku Utara karena anggaran pro poor identik dengan anggaran yang demokratis dan merupakan bentuk tindakan afirmatif dalam pengarusutamaan kemiskinan (poverty mainstreaming) dalam kebijakan pembangunan (Antonio Pradjasto Hardojo dkk, 2008).  Anggaran pro poor  adalah sebuah instrument kebijakan ekonomi-publik  melalui fungsi alokasi distribusi, stabilisasi dan keberlanjutan yang responsif  kepada rakyat miskin. Anggaran pro poor menganjurkan  negara/daerah bertindak secara responsif melakukan alokasi distribusi kepada rakyat miskin. Alokasi distribusi dalam bentuk menyediakan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih) dan memberikan insentif ekonomi pada proses produksi ekonomi untuk orang miskin.


Sudah saatnya setiap kebijakan yang dihasilkan idealnya mendahulukan kepentingan si miskin, memenuhi kebutuhan si miskin, bukankah si miskin adalah pemegang mandat sesungguhnya. Kalau bukan sekarang kapan lagi....!!!!!!

Masyarakat tangguh bencana adalah masyarakat yang  mampu mengatasi kerusakan yang disebabkan terjadinya bencana alam, dengan cara mempertahankan struktur sosial pra-bencana mereka, atau menerima perubahan kecil atau besar untuk bertahan hidup.[1]

Bencana adalah peristiwa yang menimbulkan ancaman bagi manusia, lingkungan, struktur masyarakat, dan ekonomi. Artinya bahwa manusia (individu dan masyarakat) memiliki kerentanan dan bisa juga memiliki ketahanan dalam menghadapi bencana. Pada kurun waktu 105 tahun frekuensi bencana meningkat dengan kata lain trend bencana naik dari 93 bencana yang terjadi pada tahun 1900-1909 meningkat menjadi 4850 bencana yang terjadi pada tahun 2005. Bencana yang terjadi dalam kurun waktu 105 tahun memakan korban jiwa sebanyak populasi penduduk Belanda  dan Prancis[2].

Dari frekuensi bencana yang terus meningkat bukan tidak mungkin akan mempengaruhi kapasitas masyarakat (secara individu maupun komunitas) dalam menghadapi bencana. Bagaimana respon seseorang dalam menghadapi bencana dipengaruhi oleh konsep ketahan dan kerentanan. Ada berbagai macam literatur yang mencoba menjelaskan hubungan antara kerentanan dan ketahanan dalam konteks bencana. Bencana merupakan konsekuensi dari kerentanan sosial dan ekonomi dari faktor alam. Beberapa pendapat lain sebut saja Amartya sen melihat kerentanan bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi belaka karena tidak memiliki kekayaan tapi kerentanan terkait faktor politik, sosial dan ekonomi serta fisik.

Jika kerentanan selalu dikaitkan dengan tingkat kuantifikasi potensi kerugian yang diderita maka ketahanan terkait dengan kualitas yang dimiliki untuk menghadapi bencana. Untuk mengurangi resiko dan dampak dari bencana apakah perlu mengatasi atau mengurangi faktor kerentanan masyarakat terlebih dahulu? ataukah membentuk ketahanan masyarakat itu sendiri? Dialektika konsep dan aplikasi yang mewarnai studi penanganan bencana selama ini.  misalnya[3] Pelling memandang ketahanan sebagai komponen kerentanan atau kemampuan seorang aktor untuk mengatasi atau beradaptasi dengan bahaya stres. Dalam hal ini, pada dasarnya meliputi persiapan direncanakan dan penyesuaian spontan atau direncanakan dilakukan dalam menghadapi bencana alam. Sedangkan Folke et al melihat ketahanan adalah kebalikan dari kerentanan pada sisi positif yakni kapasitas untuk melawan dari kerusakan dan perubahan dalam hal terjadinya bahaya alam.

Secara aplikatif (kemampuan menangani krisis dan bencana) ketahanan berbeda dengan kerentanan. Di sisi lain, kerentanan hanya meliputi kerentanan individu untuk menderita kerusakan dan dengan demikian bisa mengubah terjadinya bahaya alam menjadi bencana. Kedua konsep mungkin bergantung pada faktor-faktor yang sama (demografi, sosial, budaya, ekonomi, politik, dll) namun bervariasi pada skala yang berbeda. Masyarakat tangguh mampu mengatasi kerusakan dengan terjadinya bencana alam, baik melalui mempertahankan struktur sosial pra-bencana mereka, atau melalui menerima perubahan marjinal atau perubahan besar untuk bertahan hidup.

Masyarakat Maluku Utara sebagai sebuah entitas dan identitas budaya tentunya memiliki tradisi yang berakar dari budaya leluhur yang dilaksanakan sampai saat ini. Ada beberapa tradisi di Maluku Utara yang saat ini tetap dilaksanakan namun menyesuaikan dengan konteks saat ini, misalnya Hapolas[4] untuk suku Makian dan Bari fola untuk suku Tidore.  

Dalam paper ini saya akan mencoba mengulas barifola sebagai modal sosial dan instrumentasi masyarakat tangguh bencana dari beberapa level. 1). Individu- bagaimana barifola mempengaruhi kapasitas individu dalam merespon bencana?. 2). Masyarakat- bagaimana modal sosial “barifola” beroperasi secara spesifik? dan efeknya terhadap ketahanan masyarakat?

Modal sosial bencana pada tingkat individu menggambarkan jaringan sosial pribadi keluarga, teman, tetangga, kenalan, dan organisasi yang individu anggap mampu memberikan bantuan untuk kegiatan yang terkait dengan bencana. Proses ini memiliki implikasi untuk ketahanan individu, berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki individu dan apa yang mereka terima dari  jaringan sosial itu.

Pada tingkat masyarakat, praktek modal sosial sangat bervariasi ada yang diformalkan dalam bentuk organisasi dan ada yang dipraktekkan begitu saja dalam lingkup kesukuan dengan berbagai tingkat keterlibatan.  Praktek barifola dilembagakan dalam organisasi yang berorientasi kedaerahan yakni paguyuban Ikatan Keluarga Tidore (IKT). Tingkat keterlibatan individu dimulai dari tingkat organisasi level terendah yaitu pada level kelurahan kemudian pada level atasnya.


Kerangka Teoritis
Penting kiranya untuk memahami barifola dari perspektif  modal sosial (social capital)  dan perspektif  pengelolaan bencana.  Dalam perspektif modal sosial barifola dipandang sebagai agregasi hubungan sosial, sumberdaya dan kepemilikan yang dibingkai dalam tradisi.

Bari Fola[5]
Bari Fola dalam bahasa Tidore terdiri atas 2 kata: “Bari” dan “Fola”. Kata BARI bermakna gotong royong dan kata FOLA berarti Rumah. Jadi, BARI FOLA dapat diartikan “bergotong royong membangun rumah”, mulai dari mempersiapkan bahan-bahannya hingga membantu membangun rumahnya. Karakteristik yang dimiliki “Bari” (gotong royong) ialah makanan yang disajikan sangat sederhana atau dalam istilah masyarakat Tidore disebut “alakadar”. Makanan, minuman dan lainnya disediakan oleh keluarga yang melaksanakan hajatan dibantu oleh kerabat dan tetangga. Sementara dalam tradisi Bari Fola juga dikenal dengan istilah “mayae” yaitu pihak yang dimintai bantuan untuk bergotong royong membangun rumah. Misalnya dialek masyarakat Tidore dalam tradisi Bari Fola “Om Umar[6] mayae jou ngon madigali simo sogoko simo na fola” (Om Umar meinta tolong Anda membantu beliau mendirikan rumahnya); “Tabea jou ngon moi-moi, ngom ni Bari re kala ma gai laha lau ua”. (Mohon maaf kepada kalian semua, hidangan alakadar kami [dalam Mayae ini] mungkin keliahatannya kurang  pantas/kurang berkenaan dengan selera).

Tradisi Bari dimasa lalu dilakukan terutama untuk sesama dengan maksud untuk meringankan pekerjaan, diantaranya membantu sesama warga masyarakat membangun rumah, membuka kebun atau ladang, bahkan menjadi kekuatan pembangunan dalam mengadakan sarana prasarana umum misalnya sekolah, rumah ibadah, pasar rakyat/tradisional, jalan, jembatan, sarana perekonomian dan lainnya.

Saat ini tradisi Bari lebih dikhususkan untuk membangun rumah warga yang tidak mampu. Melalui wadah Ikatan Keluarga Tidore (IKT) Kota Ternate Bari Fola dijadikan sebagai aksi sosial memperbaiki rumah tinggal warga masyarakat yang kurang mampu. Aksi sosial ini dilaksanakan secara swakarsa dan swadana yang bersumber dari gerakan calamoi[7], infaq, sadaqah, dan sumbangan dari para anggota paguyuban yang berkecukupan. Awalnya kegiatan Bari Fola yang di prakarsai oleh IKT Kota Ternate dibiayai dengan menggunakan mekanisme gerakan Kotak Calamoi  dalam setiap pengajian dan arisan bulanan anggota IKT disetiap kelurahan. Dari dana yang terkumpul kemudian dijadikan dana stimulus pembangunan rumah dalam kegiatan Bari Fola.

Agar Bari Fola berjalan tanpa mengabaikan aspek teknis dan konstruksi rumah,  setiap rumah yang dibangun disesuaikan dengan standar bangunan IKT dan desain rumah dikerjakan oleh anggota IKT yang memiliki kualifikasi keahlian Arsitek dan rancang bangun rumah. Dengan tetap mengedepankan kualitas pengerjaan agar tertata rapi dan kordinasi berjalan lancar  dibentuklah beberapa kelompok kecil yang terdiri dari pekerja bangunan. Pimpinan dan anggota kelompok ini akan bekerja secara bergantian agar tidak mengganggu pekerjaan bagi penghidupan mereka dan keluarga. Pimpinan dan anggota kelompok ini bertindak sebagai pengarah dan pengendali teknis pengerjaan.

Setiap awal kegiatan Bari Fola diadakan setiap anggota diberi bantuan 15 Kg Beras, 2kg Gula, dan uang secukupnya untuk keperluan makan keluarga mereka. Bantuan tersebut diberikan dengan asumsi sebagai pengganti upah pekerjaan rumah. Lama waktu pelaksanaan Barifola berkisar 1 minggu dengan besaran biaya membangun setiap unit rumah sebesar 30-40 juta Rupiah.

Menariknya, setiap kegiatan bari fola selalu mendorong upaya kerjasama antara Tim Bari Fola dengan Anggota IKT dan masyarakat sekitar tempat Bari Fola dilaksanakan. Kaum perempuan setempat membantu si pemilik rumah menyiapkan makanan “alakadar” kepada orang-orang yang bekerja yang bersumber dari gerakan kotak calamoi selama kegiatan. Seringkali ibu-ibu anggota IKT dari kelurahan lain memasak dan mengantar makanan ke lokasi rumah yang sedang dibangun. Sementara kaum lelaki setempat juga turut serta dalam pengerjaan pembangunan rumah.Tampak suasana kegotongroyongan penuh kekeluargaan yang menggemberikan, membaur di dalam setiap kegiatan BARI FOLA ini anggota Pimpinan/Pengurus dan anggota IKT bersama warga setempat dalam tanpa membedakan status sosial maupun usia.

Modal Sosial
Menurut Bourdieu[8] modal sosial dilihat sebagai agregat sumber daya aktual dan potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan yang  dilembagakan atas dasar saling kenal dan pengakuan". Modal sosial merupakan salah satu dari empat bentuk modal yang dijelaskan oleh Bourdieu mencakup ekonomi, budaya, dan simbolik. Keempat modal yang tidak merata dalam masyarakat dan berinteraksi untuk menentukan lintasan individu dalam ruang sosial tertentu. Penggunaan individu terhadap modal sosial dapat mengakibatkan perolehan bentuk lain dari modal, seperti peluang ekonomi atau prestise budaya. Definisi ini jelas mengidentifikasi modal sosial sebagai konsep interaksi berbasis hubungan sosial. Tidak seperti bentuk lain dari modal, "Untuk memiliki modal sosial, seseorang harus berhubungan dengan orang lain, bukan dirinya sendiri yang merupakan sumber sebenarnya dari keuntungannya"[9]. Masing-masing bidang sosial memiliki profil sendiri, tergantung pada pentingnya proporsional di dalamnya dari masing-masing bentuk modal. Bentuk-bentuk modal dikendalikan oleh berbagai agen yang mengalahkan dan menentukan peluang memenangkan taruhan dalam permainan.

Modal sosial memiliki dua komponen: jaringan sosial dan jumlah serta kualitas sumber daya yang tersedia dan disalurkan melalaui relasi jaringan[10]. Penelitian bencana yang menggunakan konseptualisasi modal sosial ini sering berfokus pada bagaimana hubungan sosial mempengaruhi sumber daya dan dukungan yang ditawarkan kepada korban bencana, atau bagaimana organisasi pelayanan sosial darurat bekerja sama selama bencana.Putnam[11] memandang konsep modal sosial adalah esensi sosiologis daya hidup komunal. Sebuah solusi untuk tindakan mengatasi masalah bersama dan oportunisme dengan mengandaikan pengembangan tindakan kolektif sukarela, dan terhubung ke modal sosial yang diwariskan dalam masyarakat. Bentuk modal sosial adalah sumber umum moral masyarakat, dan dapat dibagi menjadi tiga komponen utama: pertama, kepercayaan atau trust ; kedua, norma dan kewajiban sosial; dan ketiga, jaringan sosial aktivitas warga, terutama asosiasi sukarela. Lebih lanjut Putnam, memandang modal sosial sebagai seperangkat hubungan yang horizontal (horizontal associations) antar orang.

Fukuyama merumuskan modal sosial dengan mengacu kepada “norma-norma informal yang mendukung kerjasama antara individu dan kapabilitas yang muncul dari  prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari masyarakat.

Modal sosial lebih menekankan potensi kelompok dan pola-pola relasi antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan menitik beratkan pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok yang mengarahkan dan menggerakan interaksi-interaksi antar orang dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan  sosial dan ekonomi, ini semua merupakan perekat dan penguat yang  menyatukan mereka secara bersama-sama.  Semua hal tersebut menjadikan masyarakat  lebih dari sekedar kumpulan individu-individu.

Akhirnya modal sosial bisa dikatakan sebagai  property dari public good. Social capital akan tumbuh dan semakin berkembang kalau  digunakan secara bersama dan sebaliknya akan mengalami kemunduran atau penurunan bahkan  suatu kepunahan dan kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama.

Ketahanan (Resilience)
Ketahanan sejak awal digunakan di bidang psikologi dan psikiatri di tahun 1940-an, studi ini dimaksudkan untuk menganalisis resiko atau efek negatif dari peristiwa kehidupan yang merugikan anak-anak seperti  perceraian, stress traumatik[12].  Meskipun pada perkembangannya terjadi perdebatan terkait penggunakan studi ketahanan dibidang apa, ada yang mengatakan ketahanan digunakan dibidang ekologi setelah Holling merilis karya monumental yang berjudul “Resilience and Stability of Ecological Systems”[13]. Terlepas dari dialektika terkait dengan awal mula studi ini digunakan yang mengiringi perkembangannya, kenyataannya saat ini studi tentang ketahanan digunakan disegala bidang dan khususnya bidang manajemen pengelolan bencana mulai diterapkan setelah dideklarasi The Hyogo Framework for Action 2005- 2015 atau dikenal dengan deklarasi Hyogo pada 22 Januari 2005 oleh The United Nations International Strategy for Disaster Risk Reduction (UNISDR).

Secara etimologis Ketahanan berasal dari kata latin resilio, yang berarti 'melompat kembali'[14].  Secara umum Ketahanan didefinisikan dalam dua cara pandang : sebagai hasil yang diinginkan atau sebagai suatu proses menuju hasil yang diinginkan[15]. Jika ketahanan diartikan sebagai proses menuju suatu hasil maka defenisi ketahanan adalah  upaya peningkatan perhatian yang ditujukan terhadap faktor apa yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan apa yang terbaik dan dengan cara terbaik untuk memperkuat kapasitas mereka (masyarakat)[16]. Namun, jika konsep ketahanan adalah untuk mengarah pada cara baru menanggulangi bencana dan memberikan pilihan kebijakan, ada kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis yang terus mengaburkan konsep. Untuk meningkatkan ketahanan perlu memiliki pemahaman awal yang baik terkait faktor penentu ketahanan[17] dan bagaimana hal itu dapat diukur, dipelihara dan ditingkatkan[18].

Pengertian dan cakupan ketahanan
Seperti diuraikan diatas bahwa untuk mengetahui ketahanan, yang harus diapahami awalnya adalah faktor penentu ketahanan itu sendiri. Masyarakat merupakan entitas sosial melekat tradisi yang dijalankan secara turun-temurun hingga saat ini dan itu merupakan salah satu faktor penentu tumbuhnya daya tahan masyarakat itu sendiri. Artinya konsep daya tahan dipandang sebagai komponen ketahanan seorang individu atau masyarakat untuk mengatasi  atau beradaptasi dengan bencana. Kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana akan sangat bergantung pada kapasitas mereka untuk bertahan. Dalam keadaan yang kurang menguntungkan ini, konsep daya tahan juga menekankan pada kemampuan sebuah “sistem” untuk kembali kepada keadaan semula sebelum bencana terjadi. Melihat ketahanan bencana sebagai proses yang disengaja (mengarah ke hasil yang diinginkan) terdiri dari serangkaian peristiwa, tindakan atau perubahan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat saat berhadapan dengan guncangan lebih ditekankan pada peran manusia dalam bencana.

Ketahanan adalah kemampuan seorang individu atau organisasi untuk secepatnya merancang dan mengimplementasikan perilaku adaptif positif dicocokkan dengan situasi yang ada[19] dan juga ketahanan menunjukan kualitas dari Individu, kelompok, organisasi dan sistem untuk merespon secara produktif keadaan yang tidak menguntungkan dengan melakukan perubahan secara signifikan.[20]

Dimensi masyarakat tangguh bencana
  1. 1.      Rasa bermasyarakat (sense of community),
  2. 2.      Kemampuan beradaptasi (coping ability),
  3. 3.      Kapasitas individu (self-efficacy)
  4. 4.      Dukungan sosial (social support).


Barifola; Modal Sosial dan Instrumentasi Tangguh Bencana
Modal sosial digunakan dalam banyak konteks adalah konsep sentral dalam sosiologi yang mengidentifikasi bagaimana "keterlibatan dan partisipasi dalam kelompok dapat memiliki konsekuensi positif bagi individu dan masyarakat". Dua konseptualisasi yang berbeda dari modal sosial yang ada; satu adalah pendekatan berbasis jaringan sosial dari tradisi akademik Bourdieu dan Lin, sedangkan yang lainnya adalah norma-norma, kepercayaan, pendekatan berbasis warga negara atau masyarakat oleh Putnam dan Fukuyama[21].

Penelitian empiris mengenai modal sosial dalam bencana menyoroti proposisi oleh Bourdieu; jumlah modal sosial dan jenis mempengaruhi kesempatan hidup. Banyak penelitian bencana dapat dilihat melalui lensa modal sosial, seperti Quarantelli[22] mencatat, '' modal sosial mungkin konsep yang sangat berguna untuk menangkap satu jenis utama sumber daya yang dimiliki untuk terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana".

Dalam bencana, ketidaksetaraan dalam kepemilikan sumberdaya akan lebih bertambah buruk dengan kesulitan akses terhadap modal sosial, ini berarti orang-orang dengan modal sosial yang kurang atau lebih sedikit ikatan dengan individu lain dapat mengakibatkan kesulitan penyediaan sumber daya yang diperlukan sehingga mengurangi ketahanan  individu dalam menghadapi bencana.

Bari Fola yang tumbuh dan berkembang dalam lingkup organisasi Ikatan Keluarga Tidore kota Ternate menggambarkan jaringan sosial yang tumbuh atas dasar kesadaran akan norma yang berlaku berdasarkan semboyan “Limau Ma Dade Dade Ma Bara Jiko Se Doe” (Persatuan, persaudaraan, dan semangat kekeluargaan) seperti yang diutarakan putnam bahwa di sebuah komunitas, terkandung asas resiprokal  (berbalasan) dan harapan (ekspektansi) tentang tindakan-tindakan yang patut dilakukan secara  bersama-sama. Melalui peraturan-peraturan inilah setiap anggota komunitas menata tindakannya.

Dengan modal semboyan  “Limau Ma Dade Dade Ma Bara Jiko Se Doe” IKT kota Ternate menjadi aktor utama dalam menggerakkan resources yang dimiliki anggota melalui jaringan kolaboratif yang memfasilitasi interaksi dalam organisasi (misalnya, jaringan inovasi) dengan peraturan yang dilembagakan untuk menumbuhkan rasa bermasyarakat (sense of community ) setiap anggota melalui upaya kerjasama (gotong royong) pada setiap kegiatan Barifola dengan mengandalkan dukungan sosial (social support) berupa gerakan calamoi dan infaq serta shodaqoh anggota lainnya. Ikatan ini dapat menyediakan sumber daya yang bermanfaat bagi organisasi individu dan menghasilkan manfaat kolektif untuk seluruh anggota Organisasi.

Sebagaimana dikatakan Putnam, pemikiran dan teori tentang modal sosial memang didasarkan  pada kenyataan bahwa “jaringan antara manusia” adalah bagian terpenting dari sebuah  komunitas. Jaringan ini sama pentingnya dengan alat kerja (disebut juga modal fisik atau  physical capital) atau pendidikan (disebut juga human capital). Secara bersama-sama, berbagai  modal ini akan meningkatkan produktivitas dan efektivitas tindakan bersama.  Bari Fola tidak hanya diartikan sebagai gerakan sosial yang dimotori IKT Kota Ternate untuk membantu sesama namun Bari Fola juga menjadi  perekat (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok sebagai suatu kesatuan. Kesatuan akan membentuk sebuah sistem yang mengarahkan tindakan kolektif untuk mengatasi masalah kolektif.  Dalam keadaan tidak menguntungkan (bencana atau krisis) daya tahan individu dan kelompok sangat ditentukan oleh bagaimana sebuah sistem dapat bekerja mengembalikan keadaan seperti semula.

Bari Fola dapat diartikan sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara  orang-orang dalam suatu komunitas. Sebuah interaksi  dapat terjadi dalam skala individual maupun institusional. Secara individual, interaksi terjadi  manakala relasi intim antara individu terbentuk satu sama lain yang kemudian melahirkan ikatan  emosional. Secara institusional, interaksi dapat lahir pada saat visi dan tujuan satu organisasi  memiliki kesamaan dengan visi dan tujuan organisasi lainnya, yang juga dapat dikatakan akan  memunculkan nilai-nilai dan norma-norma bersama, bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai  bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan (trust) yang pada gilirannya  memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur[23].

Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko  dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan  melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola  tindakan yang saling mendukung, paling tidak. yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan  kelompoknya. Dalam pandangan Fukuyama[24] trust  didefinisikan sebagai “the expectation that arises within a community of regular, honest, and  cooperative behavior, based on commonly share norms, on the part of other members of that  community”.

Bari Fola sebagai Modal Sosial dan sebagai intrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana sangat penting bagi Individu dan komunitas karena:
  1. 1.      Menjadi media  sharing resources atau pembagian sumberdaya dalam komunitas;
  2. 2.      Mengembangkan solidaritas;
  3. 3.      Memungkinkan mobilisasi sumber daya komunitas;
  4. 4.      Memungkinkan pencapaian bersama; dan
  5. 5.      Membentuk perilaku kebersamaan.

Bari Fola menghasilkan rasa kebersamaan, kesetiakawanan, dan sekaligus tanggung jawab akan  kemajuan bersama. Kebersamaan, solidaritas, toleransi, semangat bekerjasama, kemampuan berempati, merupakan  modal sosial yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Hilangnya modal sosial tersebut  dapat dipastikan kesatuan masyarakat, bangsa dan negara akan terancam, atau paling tidak  masalah-masalah kolektif akan sulit untuk diselesaikan. Kebersamaan dapat meringankan beban,  berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial, semakin tinggi daya  tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan suatu masyarakat. Tanpa adanya modal sosial,  masyarakat sangat rentan saat dilanda bencana.


Referensi;
Francis Fukuyama. 1995, “Trust: The Social capital and the Creation of Prosperity”

Gaillard, Jean-Christophe. (2007). “Resilience of traditional societies in facing natural hazards”. Disaster Prevention and Management. Vol. 16 No. 4. pp. 522-544

IFRC (International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies) (2004) World Disasters Report 2004: Focus on Community Resilience. IFRC, Geneva.

Kaplan, H.B. (1999) ‘Toward an Understanding of Resilience: A Critical Review of Definitions and Models’. In M.D. Glantz and J.L Johnson (eds.) Resilience and Development. Kluwer Academic, New York, NY. pp. 17–83.

Klein, R.J.T, R.J. Nicholls and F. Thomalla (2003) ‘Resilience to natural hazards: How useful is this concept?’ Environmental Hazards. 5. pp. 35–45.

Kourosh Eshghi, Richard C. Larson, (2008),"Disasters: lessons from the past 105 years", Disaster Prevention and Management, Vol. 17 Iss: 1 pp. 62 – 82

Martti Siisiäinen, 2000. “Two Concepts of Social Capital: Bourdieu vs. Putnam”. Paper presented at ISTR Fourth International Conference "The Third Sector: For What and for Whom?" Trinity College, Dublin, Ireland.

Michelle Annette Meyer. (2013), “Social Capital and Collective Efficacy for Disaster Resilience: Connect;ing Individuals with Communities and Vulnerability with Resilience in Hurricane-Prone Communities in Florida.”Disertation Doctor of Philosophy Department of Sociology, Colorado State University Fort Collins.

Portes, Alejandro. 1998. “Social Capital: Its Origins and Applications in Modern Sociology.” Annual Review of Sociology 24(1): 1-24.

Quarantelli, Enrico L. 2005. “A Social Science Research Agenda for the Disasters of the 21st Century: Theoretical, Methodological and Empirical Issues and Their Professional Implementation.” Pp. 325–396 in What Is a Disaster: New Answers to Old Questions, edited by R. Perry and E. Quarantelli. Philadelphia, PA XLibris Corp.

Siambabala, Bernard Manyena. (2006) “The concept of resilience revisited”. Disasters, 30(4): 433−450.


End Note

[1] Gaillard, Jean-Christophe. 2007; 522
[2] Kourosh Eshghi, Richard C. Larson, (2008)
[3] Gaillard, Jean-Christophe. Op cit hal 522
[4] Secara arti harafiah Hapolas berarti membayar tradisi ini sudah ada sejak lama, Hapolah “membayar” adalah salah satu tradisi orang makian dimana tradisi ini dilakukan apabila ada salah satu anggota masyarakat dari suku makian meninggal dunia. Untuk mengenang dan mendoakan orang yang telah meninggal dunia, diadakan acara tahlilan selama sembilan hari. Namun perlu diketahui juga bahwa tradisi seperti ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang beragama Islam saja. Praktik Hapolas yang dilakukan sekarang berbeda denggan tradisi awal dimana bentuk bantuan awalnya berupa barang untuk membantu keluarga yang melakukan hajatan, barang yang diberikan berupa kebutuhan pokok sedangkan sekarang sudah menggunakan uang. Hapolas dilakukan setelah tahlilan hari ke sembilan, kemudian diadakan kesepakatan warung/toko sembako tempat mengambil segala macam kebutuhan selama hajatan tidak dibatasi jumlahnya, setelah selesai hajatan perwakilan masyarakat terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat membayar semua barang yang telah diambil selama hajatan tahlilan berlangsung. (diolah dari berbagai sumber)
[5] Diolah dari berbagai tulisan sofyan Daud yang dipublish pada group Barifola di media sosial facebook
 
https://www.facebook.com/notes/bari-fola-aksi-sosial-bangun-rumah/mengenal-bari -fola/10150696562227940
[6] “Om” adalah panggilan untuk laki-laki lazimnya dalam bahasa Indonesia disebut “paman” sedangkan “Umar” adalah nama orang
[7] Calamoi dalam bahasa Tidore berarti Seribu, gerakan calamoi adalah sebuah aksi dalam bentuk pengumpulan uang sebesar Rp. 1000 yang dilaksanakan saat pengajian dan arisan anggota IKT di tingkat kelurahan serta dilaksanakan saat kegiatan Bari Fola berlangsung.
[8] Michelle Annette Meyer. 2013; 30-31
[9] Portes,  1998: 7
[10] Michelle Annette Meyer. Op Cit hlm 31
[11] Martti Siisiäinen, 2000
[12] Siambabala, Bernard Manyena. 2006; 433-434
[13] Ibid 
[14] Klein, Nicholls dan Thomalla, 2003
[15] Kaplan, 1999
[16] IFRC, 2004
[17] Klein et al., 1998
[18] Klein, Nicholls dan Thomalla, 2003
[19] Malak dalam Siambabala, Bernard Manyena. 2006; 437
[20] Horne and Orr dalam Siambabala, Bernard Manyena. 2006; 437
[21] Michelle Annette Meyer. Op Cit hal 29
[22]Quarantelli, 2005: 357  
[23] Francis Fukuyama. 1995; 26 “Trust: The Social capital and the Creation of Prosperity”
[24] Ibid 
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT AUTHOR

LATEST POSTS

  • Metode Penelitian CROSS-SECTIONAL
    Sumber Gambar dari Google Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow ...
  • Merencanakan Pembangunan
    sumber gambar:  bangimsarlubis.wordpress.com BARANGKALI tujuan paling penting bagi semua pemerintahan adalah melakukan pembangunan. Bah...
  • Memahami Wacana dan Perkembangan Civil Society Organization/CSO di Indonesia
    Fase Perkembangan Civil Society dan Civil Society Organizations/CSOs Berbicara tentang gerakan civil society di Indonesia, di tengah peng...
  • Letakkan Dunia ditanganmu bukan Hatimu
    “Hidup adalah Ujian” Penggalan Kalimat ini sering kita dengar, bukan  tidak berdasar tetapi sesuai dengan firman Allah   menjadikan  hidu...
  • PLAGIARISME
    Sumber Gambar  rmtcumi.wordpress.com    Anti Plagiarisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengajarkan kepada kita semua agar...
  • Album Program Magang Dosen Dikti di UGM Tahun 2012 [part 1]
    Lantai 3 Perputakaan Pusat UGM Foto Bersama Ibu Lilik Uswah (Head World Bank Corner Perpustakaan UGM
  • “Bari fola; Modal sosial dan instrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana”
    Masyarakat tangguh bencana adalah masyarakat yang  mampu mengatasi kerusakan yang disebabkan terjadinya bencana alam, dengan cara mempert...
  • Urbanisasi = Pengangguran + Kemiskinan
    Urbanisasi Pembangunan dan kemiskinan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, Pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan Ma...
  • Engkau Jujur Kepada Allah Allah pun Mewujudkan Cita-Citamu
    Kejujuran dalam beragama Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih, An-Nasai dan lain-lain, dari Syaddad bin Al-Had bahwa ada s...
  • PLAGIASI; Pengabaian Hak-Hak Intelektual Tanggapan atas tulisan Rinto Taib & Lanny Losung tentang “BARIFOLA & WORLD CULTURE FORUM 2016”
    Pengakuan terhadap karya orang lain adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap kepemilikan gagasan d...

Categories

  • Album Program Dosen Magang Dikti di UGM
  • Catatan Islami
  • Catatan Kuliah
  • Catatan Pinggir
  • Kisah-Kisah Islami
  • Materi Kuliah
  • Pernak- Pernik

Recent Posts

Al-Qalby Instiute. Diberdayakan oleh Blogger.

Quote of the day


ABOUT ME

Foto saya
Prabu Suleman
Yogyakarta, Indonesia
Ridha Allah adalah prioritas utama dalam perjalanan hidup..... Cukuplah maut yang menjadi Nasehatku.......
Lihat profil lengkapku

Dokumentasi

  • ►  2016 (2)
    • ►  Agustus (2)
  • ►  2015 (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2014 (5)
    • ▼  November (2)
      • LURAH; Pemimpin tanpa ”Kuasa”
      • Mendahulukan si Miskin [catatan dari ngayogyakarto...
    • ►  Oktober (3)
      • “Bari fola; Modal sosial dan instrumentasi Masyara...
  • ►  2012 (20)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (7)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)

Labels

  • Album Program Dosen Magang Dikti di UGM
  • Catatan Islami
  • Catatan Kuliah
  • Catatan Pinggir
  • Kisah-Kisah Islami
  • Materi Kuliah
  • Pernak- Pernik

Hi There, I am

Popular Posts

  • Metode Penelitian CROSS-SECTIONAL
    Sumber Gambar dari Google Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow ...
  • Merencanakan Pembangunan
    sumber gambar:  bangimsarlubis.wordpress.com BARANGKALI tujuan paling penting bagi semua pemerintahan adalah melakukan pembangunan. Bah...
  • Memahami Wacana dan Perkembangan Civil Society Organization/CSO di Indonesia
    Fase Perkembangan Civil Society dan Civil Society Organizations/CSOs Berbicara tentang gerakan civil society di Indonesia, di tengah peng...
  • Letakkan Dunia ditanganmu bukan Hatimu
    “Hidup adalah Ujian” Penggalan Kalimat ini sering kita dengar, bukan  tidak berdasar tetapi sesuai dengan firman Allah   menjadikan  hidu...
  • PLAGIARISME
    Sumber Gambar  rmtcumi.wordpress.com    Anti Plagiarisme adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengajarkan kepada kita semua agar...
  • Album Program Magang Dosen Dikti di UGM Tahun 2012 [part 1]
    Lantai 3 Perputakaan Pusat UGM Foto Bersama Ibu Lilik Uswah (Head World Bank Corner Perpustakaan UGM
  • “Bari fola; Modal sosial dan instrumentasi Masyarakat Tangguh Bencana”
    Masyarakat tangguh bencana adalah masyarakat yang  mampu mengatasi kerusakan yang disebabkan terjadinya bencana alam, dengan cara mempert...
  • Urbanisasi = Pengangguran + Kemiskinan
    Urbanisasi Pembangunan dan kemiskinan bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, Pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan Ma...
  • Engkau Jujur Kepada Allah Allah pun Mewujudkan Cita-Citamu
    Kejujuran dalam beragama Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dengan sanad shahih, An-Nasai dan lain-lain, dari Syaddad bin Al-Had bahwa ada s...
  • PLAGIASI; Pengabaian Hak-Hak Intelektual Tanggapan atas tulisan Rinto Taib & Lanny Losung tentang “BARIFOLA & WORLD CULTURE FORUM 2016”
    Pengakuan terhadap karya orang lain adalah sebuah budaya yang harus dilestarikan sebagai bentuk penghormatan terhadap kepemilikan gagasan d...

About Me

Popular Posts

  • Metode Penelitian CROSS-SECTIONAL
    Sumber Gambar dari Google Penelitian cross-sectional adalah penelitian yang dilakukan pada satu waktu dan satu kali, tidak ada follow ...

Advertisement

Blogger templates

Designed by OddThemes & Distributed by MyBloggerThemes